REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Arief Hidayat memaparkan cara penanganan perselisihan hasil pilkada di satu daerah yang hanya diikuti satu pasangan calon. Semua penyelesaian permasalahan tersebut tercantum dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 tahun 2015.
Lebih spesifik, Lulusan Fakultas Hukum Undip tersebut memaparkan, PMK Nomor 4 tahun 2015 tersebut mengatur siapa saja yang mempunyai legal standing untuk mengajukan gugatan ke MK. Menurut dia, ketika yang memenangkan pemilihan adalah pilihan 'tidak setuju' maka yang mempunyai legal standing mengajukan gugatan ke MK adalah pasangan calon.
"Tapi jika yang memenangkan 'setuju' maka yang mempunyai kewenangan untuk mengajukan sengketa ke Mahkamah Konstitusi adalah pemantau pemilihan umum," kata Arief di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (5/11).
Pria asal Semarang tersebut juga memaparkan syarat pemantau pemilu, yang di antaranya adalah berbadan hukum Indonesia, terdaftar dan tersertifikat oleh KPU. Selain itu, pemantau pemilu juga tidak boleh memihak atau Independen.
"Partai politik tidak memiliki legal standin karena pemantau pemilu syaratnya tidak boleh memihak. Sifatnya independen," tambah Arief.
Sebelumnya, Arief memaparkan, pilkada serentak yang hanya ada satu pasangan calon itu tetap dilakukan. Hanya saja, mekanismenya yang berbeda di mana rakyat diminta memilih antara setuju atau tidak setuju.