Senin 02 Nov 2015 21:15 WIB

Franz Magnis: Sumber Masalah karena Negara tak Lindungi Syiah dan Sunni

Franz Magnis Suseno (kiri)
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Franz Magnis Suseno (kiri)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Budayawan sekaligus pastor Katolik Franz Magnis-Suseno berpendapat negara dalam hal ini pemerintah Indonesia, kurang melindungi hak dan kebebasan beragama kaum minoritas.

"Yang menjadi sumber masalah yakni Indonesia hanya mengakui enam agama, komunitas agama di luar enam agama yang diakui tersebut, terutama golongan Sunni dan Syiah, tidak dianggap ada," ujarnya dalam sebuah konferensi berjudul "Agama, Negara, dan Masyarakat" di Goethe Institut, Jakarta, Senin (2/11).

Merasa tidak mendapat perlindungan penuh dari negara, kata dia, menyebabkan golongan minoritas seringkali menjadi subjek kekerasan atas nama agama. "Negara kurang bisa melindungi golongan minoritas dan mencegah kekerasan atas nama agama," tutur pria asal Jerman yang menjadi WNI sejak 1977 itu.

Pendapat sama diungkapkan oleh akademisi dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Siti Ruhaini Dzuhayatin yang mengkritisi penerapan hukum syariat di Aceh yang menurutnya lebih merugikan perempuan. Sebagai contoh, kata dia, imbauan agar perempuan tidak mengenakan celana panjang telah merenggut kebebasan berekspresi seseorang.

"Meskipun sifatnya berupa imbauan, namun mengatur cara berpakaian merupakan pelanggaran terhadap hak kebebasan berekspresi yang seharusnya dihormati oleh orang lain," tuturnya.

Untuk itu, Siti mendesak pemerintah agar lebih mendukung prinsip multikulturalisme di negara yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika ini. 

Sementara itu, Direktur Merek Ditjen Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Kementerian Hukum dan HAM Bambang Iriani Djajaatmadja mengungkapkan bahwa dari segi perangkat hukum, pemerintah telah menyediakan aturan-aturan yang menjamin perlindungan HAM dalam bidang kebebasan beragama. Terkait dengan peraturan daerah (perda) syariat, menurut dia itu hanya sebuah sebutan yang dikaitkan dengan aturan-aturan Islam.

"Dari 151 perda syariat yang berhasil dihimpun hingga 2012, yang dinamakan perda sendiri tidak sampai 30 persennya. Sedangkan sisanya hanya berupa imbauan yang sifatnya umum dan normatif seperti cara berpakaian," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement