REPUBLIKA.CO.ID, KETAPANG – Banyak guru pegawai negeri sipil (PNS) di Marau, Ketapang, Kalimantan Barat, enggan mengajar di pedalaman. Mereka dikabarkan berbondong-bondong meninggalkan pedalaman. Sayangnya tidak sedikit dari mereka diduga melakukan praktik ilegal agar bisa pindah ke kota.
Wakil Kepala Sekolah SMAN I Marau, Frans Apeng mengakui adanya praktik ilegal tersebut. Menurut prosedur, seorang guru yang ingin pindah seharusnya harus meminta persetujuan terlebih dahulu dari kepala sekolah tempatnya mengajar. Namun yang terjadi, guru tersebut tiba-tiba saja datang dengan surat keputusan (SK) dari Dinas Pendidikan Ketapang.
“Dalam rapat dan pertemuan dengan dinas sering digembar-gemborkan soal prosedur atau aturan, tetapi nyatanya hanya wacana. Pamit pun tidak,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Selasa (27/10).
Para guru tersebut tiba-tiba saja datang dengan membawa SK ke kepala sekolah. Keesokan harinya, sekolah pun terpaksa mengumumkan bahwa guru yang bersangkutan pindah mengajar.
Praktik ini, kata Apeng, kian menjamur dan telah terjadi pembiaran sejak lama dari pusat. “Kepala sekolah tidak bisa berbuat apa-apa. Praktik melawan prosedur agar tidak mengajar di pedalaman benar-benar memprihatinkan,” ucapnya.
Di SMAN I Marau saja, sudah dua kali terjadi pemindahan mendadak tersebut. Belum lagi di sekolah-sekolah pedalaman lainnya. Apeng bercerita, empat tahun lalu ada tujuh guru pindah dalam setahun.
“Ini yang membuat saya ngamuk karena dengan begitu di sini gurunya makin sedikit, sedangkan di Kota Ketapang terjadi penumpukan guru,” kata Apeng.
Belum lama ini, guru pelajaran Kimia di sekolahnya tiba-tiba saja pindah berbekal SK dari Dinas Pendidikan tanpa rekomendasi dari pihak sekolah.
Apeng mengatakan masalah sebenarnya ada di Dinas Pendidikan Kabupaten Ketapang yang diduga melakukan praktik ilegal, yakni dengan suap-menyuap SK. Hal ini pun diakui anggota DPRD Kabupaten Ketapang, Irawan.
Menurut Irawan, kisruh dan praktik uang pelicin dan kongkalikong SK pemindahan guru dari pedalaman ke kota memang telah marak. “Kami pun sudah menanyakan hal ini termasuk ke kepala dinas, namun beliau malah mengaku tidak tahu soal praktik perpindahan itu,” ujarnya heran.
Diduga ada pejabat yang lebih tinggi terkait penerbitan SK tersebut. "Sehingga kepala dinas mengaku tidak bisa berbuat apa-apa,” ucap Irawan.