REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru besar kebijakan kehutanan dari Institut Pertanian Bogor, Hariadi Kartodihardjo memaparkan, Sejak tahun 1963 pengelolaan sumber daya hutan sesungguhnya tidak sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945. Sumber daya hutan alam yang dikuasai negara itu secara de facto pemanfaatannya diserahkan melalui mekanisme pasar, sehingga bukan hanya tidak menunjukkan pemanfaatan hutan secara adil;
"Tetapi juga menjadi ajang perebutan para ‘pemain’ di lapangan," ujarnya, Sabtu (24/10).
Dalam praktiknya, lanjutnya, pemerintah menunggu calon pemegang izin untuk memilih lokasi yang disediakan dan hanya melakukan verifikasi sangat minimal terhadap hutan yang diminta pemegang izin itu. Akibatnya, negara bukan hanya kehilangan kekayaan sumber daya alam yang dikuasainya, tetapi juga tidak mampu mengendaikan dampak besar kumulatif sejak waktu lampau, seperti kebakaran hutan dan lahan yang terjadi saat ini.
Hariadi memaparkan, pada tahun 1994, hutan alam produksi seluas 62,5 juta hektar dikelola oleh 585 perusahaan. Data pada Agustus 2015, usaha itu menjadi 269 perusahaan dengan luas 20,2 juta hektar.
“Itu berarti selama 20 tahun terakhir terdapat hutan alam yang telah tidak lagi dikelola perusahaan atau sudah dikonversi menjadi usaha hutan tanaman atau untuk tujuan usaha lain seperti kebun dan tambang seluas 42,3 juta hektar ,” kata dia.
Pria yang juga menjabat sebagai peneliti Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK tersebut menjabarkan, dari 269 perusahaan usaha hutan alam yang masih ada, hanya 95 perusahaan (35,5 persen) yang mempunyai sertifikat Pengelolan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dengan kinerja baik. selain itu, 20 perusahaan (7,4 persen) mempunya PHPL kinerja sedang.
“Ada juga yang dibekukan sertifikasinya sebanyak 5 perusahaan (1,9 persen) serta masih dalam proses sertifikasi 2 perusahaan,” tambah Hariadi.