REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Solo dinilai memiliki akar budaya yang lebih kokoh dibandingkan Korea Selatan. Sayangnya kekuatan budaya itu masih belum mampu dikapitalisasi untuk memberikan nilai tambah secara materi.
Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Pariwisata, Arief Yahya, saat menghadiri International Creativity Cities Conference (ICCC) di Benteng Vastenberg Solo, Sabtu (24/10). ''Saya yakin betul, Solo jauh lebih hebat, dibandingkan dengan seni tradisi dari Korea,'' katanya di Solo.
Arief mengatakan Solo sebagai spirit of Java memiliki budaya sangat kuat dan memiliki akar budaya yang kokoh dibandingkan Korea. Untuk menilainya, kata dia, sangat mudah. Diantaranya terlihat dari bentuk tarian Solo.
''Ibarat bumi dengan langit, Solo jauh lebih luwes, lebih filosofis, lebih memiliki estetika tinggi, termasuk musik tradisionalnya seperti gamelan yang sudah memiliki solmisasi. Tidak sekedar menabuh gendang dan menyamakan gerak dan tari saja,'' paparnya.
Sayangnya, kata Arief, saat ini jumlah wisatawan mancanegara ke Solo baru di angka 30.000 saja pada 2014. Jika 1 wisman spending-nya sekitar 1.200 dolar AS maka hanya sekitar 30 juta dolar AS saja.
Lalu ditambah lagi dengan 3 juta rata-rata wisatawan nusantara ke Solo yang membelanjakan rata-rata Rp 500 ribu. Dalam satu tahun itu, jelasnya, Solo hanya mendapatkan sekitar Rp 2 triliun dari sektor pariwisata.
Menurut Arief pemasukan sebesar itu masih terlalu kecil dibandingkan dengan potensi yang dimiliki Solo. Ia mengaku sudah mengetahui permasalahanny. ''Murni karena promosi dan connectivity saja,'' katanya.
''Soal produk, soal atraksi, saya percaya dengan 56 kalender events di Solo dalam setahun, itu berarti destinasi Solo sudah siap. Jadi, kalau masih kecil wismannya itu, yang salah Kemenpar-nya ini,” kata sang menteri melakukam autokritik.
Sebaliknya Korea dengan gerakan budaya K-Pop yang tercermin melalui Gangnam Style maupun Drama Romantisme Korea, nilainya sudah lebih besar daripada industri otomotif seperti Hyundai dan KIA.
Bahkan Arief menilai nilai gerakan budaya Korea itu lebih besar daripada industri hardwere elektronik semacam Samsung. ''Jadi ini membuktikan betapa dahsyat kekuatan K-Pop yang mengguncang dunia. Demam Korea pun mereka sebut sebagai K-Pop Wave dan saat ini sedang dipopulerkan wave baru, yang mereka namai “Cultural Wave” Korea,'' jelas Arief.