Rabu 21 Oct 2015 00:05 WIB

Hidupilah Sepak Bola, Bukan Hidup dari Sepak Bola

Mohammad Akbar
Foto: Republika
Mohammad Akbar

Oleh: M. Akbar

Redaktur Republika

“Hidup-hidupilah sepak bola, jangan mencari hidup di sepak bola.” Kalimat satire ini sengaja saya plesetkan dari pesan pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.

Jika kiai Dahlan mengajak para aktivis pembaruan Muhammadiyah agar jangan hidup dari organisasinya maka saya juga memiliki harapan agar pengelola sepak bola di negeri ini janganlah mencari hidup dan panggung kehidupan dari sepak bola!

Penegasan ini sengaja saya sampaikan karena ada kegundahan diri melihat tata kelola sepak bola di negeri ini yang sarat dengan kepentingan kelompok. Diakui atau tidak, pertikaian antara pengurus PSSI dan pemerintah menjadi bentuk nyata bagaimana perang kepentingan kelompok itu kian terbuka. Alhasil, buntut dari pertikaian itu menjadi kontraproduktif buat kemajuan olahraga yang katanya paling digandrungi oleh negara berpenduduk 200 juta jiwa lebih ini.

Penghentian kompetisi oleh PSSI serta intervensi pemerintah yang justru menjadi blunder, sesungguhnya telah merugikan para pelaku aktif sepak bola itu sendiri. Begitu banyak cerita pilu terserak di media sebagai dampak dari konflik elite antara PSSI dan Kementerian Pemuda dan Olahraga (kemenpora).

Sayup-sayup terdengar di media bagaimana seorang pesepak bola profesional kita harus banting setir menjadi driver Gojek. Lalu ada juga pemain berlevel tim nasional yang terpaksa menggadaikan barang-barang berharga mereka. Semua itu terpaksa mereka lakukan bukan karena sudah gantung sepatu. Melainkan ikhtiar itu harus mereka lanjutkan guna menyambung hidup, seiring dari tidak adanya kompetisi di negeri ini.

Lantas masih pantaskah kita untuk saling menunjuk siapa salah dan siapa yang paling merasa benar? Cukuplah aksi saling menuding itu dilakukan oleh para elite!

Setidaknya yang dibutuhkan secara riil para pemain bola, pengurus klub, suporter hingga pedagang asongan yang hidup dari kompetisi, hanya ingin menyaksikan kompetisi di negeri ini hidup kembali. Ketika kompetisi itu bergulir maka di sanalah denyut nadi mereka terus bergerak. Di dalamnya terselip juga beragam emosi. Ada suka, duka, marah tapi juga suka. Sekali lagi, itulah sepak bola.

Dan saya melihat, sekelumit harapan untuk melihat sepak bola bisa kembali mengaduk-aduk rasa itu terlahir dari gelaran Piala Presiden 2015. Turnamen yang dipromotori oleh Mahaka Sports and Entertainment ini telah memberi semacam oase bagi para pecinta sepak bola nasional.

Saya dan mungkin penggila bola nasional lainnya, sudah muak melihat pertikaian elite yang tak kunjung berakhir. Para penikmat bola nasional, sejatinya hanya menginginkan melihat hadirnya pertandingan yang bersih serta menampilkan talenta-talenta terbaik anak negeri ini mengolah si kulit bundar.

Tengoklah betapa euforia final Piala Presiden kemarin telah menjadi bukti kerinduan publik untuk menyaksikan pertandingan-pertandingan bola yang digelar secara reguler serta bebas dari atur mengatur skor.

Apa yang saya sampaikan ini tak hanya sekedar pepesan kosong seperti halnya para elite yang gemar mengklaim kebenaran dan dukungan yang semu. Kerinduan publik untuk menonton bola nasional ini ditunjukkan oleh data rating dan share yang dirilis oleh lembaga AC Nielsen.

Berdasarkan data tersebut, laga final yang memertemukan Persib dan Sriwijaya FC di Stadion Gelora Bung Karno Jakarta, Ahad (18/10), mampu menjadi tayangan paling banyak ditonton pemirsa televisi.

Selain mengantungi rating 9,5 persen, tayangan final ini mampu meraup share penonton hingga 40,9 persen dari seluruh penonton yang memelototi televisi sepanjang pukul 18.00-21.45 WIB. Data Nielsen itu sekaligus menjadi penegas dari penuh sesaknya stadion Gelora Bung Karno yang dipadati oleh puluhan ribu suporter dari kedua klub.

Dengan penggalan fakta dari final Piala Presiden 2015, sudah sepatutnya konflik yang terjadi pada elite sepak bola nasional ini bisa segera dituntaskan. Sekali lagi, tuntaskanlah upaya pembenahan yang sudah dibuat dan janganlah mempolitisasi masalah sepak bola di negeri ini sebagai panggung mendulang popularitas.

Bukankah Presiden Joko Widodo hadir juga pada acara pembukaan dan penutupan dari turnamen ini? Rasanya sudah sangat pantas jika presiden menunjukkan sikap tegas untuk segera mengurai kemelut yang terlanjur berlarut-larut sehingga menjadi kontraproduktif buat sepak bola nasional.

Sebagai penggila bola nasional, kami tak cuma bangga jika orang nomor satu di negeri ini mau melihat dan mendengar langsung sorak-sorai suporter di stadion. Tapi kami akan lebih bangga lagi jika presiden memiliki keberanian untuk mewujudkan janji Revolusi Mental dalam sepak bola nasional.

Singkirkanlah benalu-benalu sepak bola, yakni mereka yang selama ini hanya mencari 'hidup' dari sepak bola. Rasanya, sudah saatnya menunjuk orang-orang kredibel dan bebas dari 'dosa' masa lalu untuk dapat menghidupkan sepak bola Indonesia menjadi lebih baik.

Dan kami, hanya bisa dari pinggir dan luar lapangan untuk terus bersorak memberi dukungan sambil terus menanti hadirnya kompetisi sepak bola kembali dihidupkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement