REPUBLIKA.CO.ID, TASIKMALAYA -- Penyandang disabilitas khawatir dalam pelaksanaan Pilkada serentak 2015 tidak mendapatkan hak-hak politiknya. Berdasarkan estimasi Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), ada sebanyak 15 persen penyandang disabilitas dari jumlah penduduk di suatu kota/ kabupaten.
Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia Provinsi Jawa Barat (Jabar), Sri Agustini mengatakan, mengingat jumlahnya yang cukup banyak, penyandang disabilitas sebagai warga negara Indonesia juga wajib mendapatkan hak-haknya layaknya orang normal lainnya. Masalahnya yang terjadi di lapangan, banyak kendala di saat penyelenggaraan pemilu.
"Salah satunya pendatan pemilu tidak mengakomodir data pemilu disabilitas yang terbaru setiap tahunnya," kata Sri kepada Republika.co.id, Ahad (18/10).
Dia mencontohkan hak tuna netra. Panitia di tempat pemungutan suara (TPS) seharusnya menyediakan alat bantu coblos bagi tuna netra. Menurut Sri, di Kabupaten Tasikmalaya memang sudah disediakan alatnya yang disebut template. KPU di seluruh Indonesia juga telah menyediakannya. Hanya saja sosialisasinya yang belum maksimal dan perlu lebih diperbaiki lagi.
Sri menceritakan, tahun sebelumnya saat pemilu legislatif dan pemilihan presiden (Pilpres), template memang sudah disediakan KPU pusat. Namun di sejumlah TPS kerap dijumpai masih ada petugas TPS yang tidak mensosialisasikannya. Padahal hal tersebut perlu disosialisasikan kepada penyandang disabilitas yang akan menggunakan hak suaranya.
Ia menegaskan, jangankan tuna netra, peserta pemilu yang tuna rungu saja masih kerap terpinggirkan. Pernah terjadi penyandang tuna rungu dipanggil petugas TPS, karena tidak menjawab akhirnya ia mendapatkan giliran paling akhir. Kalau untuk tuna rungu harus ada tanda dan tulisan yang membantu. Bila perlu diberi ID agar tahu mana yang normal dan mana yang disabilitas.