REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG--- Dinas Tenagakerja dan Transmigrasi Jawa Barat kesulitan menghimpun data jumlah pekerja yang mendapat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari perusahaannya pada tahun ini. Salah satu penyebabnya, karena rendahnya kesadaran perusahaan untuk melaporkan data.
Menurut Kepala Dinas Tenagakerja dan Transmigrasi Jabar, Hening Widyatmoko, terdapat sejumlah penafsiran soal laporan data PHK di kabupaten/kota. Hal ini membuat datanya menjadi tidak akurat.
Oleh karena itu, kata dia, Disnakertrans Jabar sempat akan menggunakan data jumlah PHK berdasarkan jumlah Tenagakerja yang mencairkan Jaminan Hari Tua (KHT) di BPJS. Karena, yang berhak mengambil JHT adalah tenagakerja yang pensiun atau mengundurkan diri atau meninggal dunia/cacat tetap atau yang tidak dapat bekerja kembali.
Berdasarkan data JHT yang dicarikan terhitung 2014-2015 mencapai 204.000 orang. Namun data ini dinilai kurang valid untuk menyebutkan jumlah tenagakerja yang di PHK.
"Kami meminta kawan-kawan di kabupaten/kota untuk menghitung kembali jumlah yang di PHK murni, bukan yang mengundurkan diri, dan lain-lain," ujar Hening, Jumat (16/10).
Hening mengatakan, penghitungan ulang data tersebut memerlukan waktu. Pemprov sendiri tidak bisa turun langsung karena Disnaker kabupaten/kota yang punya kewenangan untuk menghimpun data PHK.
Selain itu, kata dia, kabupaten/kota juga kesulitan melakukan penghimpunan data karena redahnya kesadaran perusahaan memberikan laporan soal jumlah tenagakerja yang di PHK. Padahal sesuai aturan, perusahaan berkewajiban menginformasikan data kondisi karyawannya. "Nampaknya belum semua sadar untuk melaporkan PHK ke disnaker setempat," katanya.
Disnakertrans Jabar, kata dia, sebenarnya mendapat tugas dari pemerintah pusat untuk menghimpun data PHK paling telat 14 Oktober kemarin. Namun melihat kondisi saat ini, Disnakertrans Jabar belum berani mengirimkan data tersebut karena khawatir tidak akurat.
Adapun dari data terakhir yang terhimpun, jumlahnya telah mencapai 6.000 orang."Deadline-nya kemarin tapi kami sudah informasikan ke pusat tentang hal ini," katanya.
Untuk mencegah PHK, Hening mengusulkan kebijakan Sosial Safety Net atau Jaring Pengaman Sosial. Program ini punya 3 misi, yakni mendorong korban menjadi wirausaha, mendorong korban ke jabatan/posisi yang berbeda, serta mendorong korban ke desa dan menjadi motor perubahan.
Hening mengatakan, usulan ini telah disampaikan ke Komisi V DPRD Jabar dan diharapkan dapat didukung untuk dilaksanakan pada 2016 mendatang. Namun, kebijakan ini perlu dukungan lintas sektoral seperti Dinas Pertanian, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa (BPMPD).