REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG -- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Sumatera Selatan menyatakan hujan buatan atau teknologi modifikasi cuaca yang kini sedang diupayakan Satgas Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan provinsi setempat, sulit dilakukan.
"Hujan buatan atau teknologi modifikasi cuaca (TMC) yang dilakukan untuk memadamkan kebakaran hutan dan lahan penyebab bencana kabut asap di wilayah Sumatera Selatan dalam dua bulan terakhir, sulit dilakukan karena saat ini belum terdeteksi terbentuknya awan kumulonimbus yang mendukung untuk kegiatan TMC itu," kata Kasi Data dan Informasi Stasiun Klimatologi Kenten BMKG Sumatera Selatan Indra Purnama di Palembang, Rabu (14/10).
Menurut dia, awan kumulonimbus adalah awan vertikal menjulang yang sangat tinggi, padat, dan terlibat dalam badai petir serta cuaca dingin yang terakumulasi hujan. Belum terbentuknya awan tersebut menghambat kegiatan untuk melakukan TMC, padahal bencana kabut asap yang akhir-akhir ini dirasakan semakin pekat menyelimuti udara Kota Palembang dan sejumlah daerah Sumsel lainnya membutuhkan hujan.
Dia menjelaskan, kondisi cuaca di provinsi yang memiliki 17 kabupaten dan kota ini dalam kondisi ekstrem karena curah hujan sangat sedikit di bawah 100 milimeter, suhu udara mencapai 35 derajat celsius dengan kelembapan udara nilainya kurang dari 45 persen terutama pada siang hingga sore hari.
"Kabut asap yang kini dirasakan semakin pekat terutama oleh warga Kota Palembang yang mendapat kiriman asap dari sejumlah daerah yang mengalami kebakaran ribuan hektare lahan gambut di kawasan Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Musi Banyuasin yang posisinya cukup dekat dengan ibu kota provinsi Sumsel itu," ujarnya.
Ancaman kebakaran hutan dan lahan dinilai perlu terus diwaspadai karena titik panas di sejumlah wilayah Sumsel masih terdeteksi cukup banyak. Cuaca di wilayah Sumsel dalam kondisi ekstrem diperkirakan terjadi hingga akhir Oktober 2015 karena pada November diprakirakan mulai terdapat banyak hujan.