REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemilihan kepala daerah (Pilkada) dengan calon tunggal dinilai belum dapat digelar jika tidak diatur secara rinci pelaksanaannya. Hal ini terkait legitimasi calon terpilih hasil Pilkada calon tunggal tersebut belum diatur.
Demikian diungkapkan anggota Komisi II DPR RI Yandri Susanto dalam rapat konsultasi PKPU Calon Tunggal di Ruang Komisi II DPR RI, Jakarta, Senin (12/10).
"Perlu dalam Peraturan KPU (PKPU) itu ditetapkan minimal jumlah terpilih, mungkin perlu juga kita pikirkan sehingga partisipasi masyarakat atau legitimasi pimpinan (daerah) menjadi taruhan kita semua,” ujar Yandri.
Menurutnya, Pilkada dengan paslon tunggal tersebut memiliki peluang kurang diminati para pemilih untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Sehingga jika penetapan pemilih hanya dengan suara setuju terbanyak, maka tidak menjamin legitimasi pasangan calon tersebut.
"Karena yang tidak datang itu bisa dianggap tidak setuju, misalkan kalau 10 hadir, 6 pemilih setuju dan 4 pemilih lainnya tidak setuju? Itu jadi taruhan untuk menetapkan calon terpilih,” ujar Yandri.
Sehingga menurut Yandri, penting bagi KPU mempertimbangkan aspek lainnya termasuk salah satunya terkait waktu penyelenggaraan yang dianggap terbatas.
Selain itu juga, KPU perlu juga mempertimbangkan aspek lainnya menyoal ruang bagi pemilih tidak setuju terhadap paslon tunggal untuk mengaktualisasikan diri seperti dalam kampanye dan debat.
“PKPU khusus (paslon tunggal) belum memuat ruang partisipasi masyarakat untuk menggunakan haknya dalam aktualiasi dirinya bahwa dia tidak setuju dengan paslon itu. Perlu pemikiran jernih dalam rangka bangun negara ke arah lebih baik dan bukan coba-coba,” ujarnya menegaskan.