REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG -- Sedikitnya ada 115 kepala keluarga (KK) di Kecamatan Terbanggi Besar, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung, menolak harga ganti rugi lahan miliknya yang terkena jalan tol trans Sumatera (JTTS) di Lampung. Lahan mereka dihargai Rp 35 ribu hingga Rp 40 ribu, sedangkan harga standar Rp 200 ribu hingga Rp 350 ribu per meter.
Ratusan warga ini berasal dari empat kelurahan/kampung di Kecamatan Terbanggi Besar. Mereka mengadukan nasib lahannya kepada Komisi I DPRD Lampung Tengah, Senin (12/10). Pertemuan ini dilanjutkan kembali pada Selasa (13/10), karena tim aprasial yang mematok harga lahan warga tersebut tidak hadir.
"115 KK yang lahan dan rumahnya terkena proyek jalan tol keberatan dan menolak penetapan nilai ganti rugi Rp 35 hingga Rp 40 ribu per meter, jauh dari harga standar saat ini Rp 200 hingga Rp 350 ribu per meternya. Apalagi lahan pertanian produktif yang jadi sumber penghidupan warga," kata Maryoto, salah seorang perwakilan warga dari Bandar Jaya Timur.
Rapat dengar pendapat yang dipimpin Ketua Komisi I DPRD, Marsono, dihadiri tim Independen daerah, BPN Lampung Tengah, PPK, dan PMK serta warga Kelurahan Bandar Jaya Timur dan perwakilan warga Karang Endah yang lahannya terkena proyek JTTS di Kecamatan Terbanggi Besar.
Maryoto mengatakan, pada 29 September 2015 warga yang terkena proyek JTTS dikumpulkan di Balai Kelurahan Bandar Jaya Timur untuk menerima amplop yang berisikan informasi penetapan harga dari tim aprasial. Nilai ganti rugi lahan yang disampaikan dari tim aprasial tertera Rp 35 ribu - Rp 40 ribu per meter.
Apabila warga tidak setuju diberikan waktu 14 hari untuk mengajukan keberatan ke pihak pengadilan dan melakukan proses hukum lanjutan. "Nilai tersebut sangat tidak masuk akal, kami ingin menanyakan dari mana dasar tim aprasial mematok harga ganti rugi lahan yang sangat rendah tersebut," kata Maryoto.
Menurut dia, selama ini belum ada kesepakatan dan negosiasi masalah harga.Namun tiba-tiba tim aprasial secara sepihak menetapkan harga tersebut. "Kalimat gugatan ke pengadilan menurut kami juga merupakan upaya intimidasi bagi warga,” kata Maryoto menegaskan.
Rapat dengar pendapat di Komisi I DPRD Lampung Tengah ini, belum mencapai solusi, karena ketua tim aprasial, yang melakukan survei penilaian harga di Kelurahan Bandar Jaya Timur tidak hadir. Tim hanya mengirimkan seorang utusan yang membacakan surat permohonan maaf atas ketidakhadiran ketuanya.
Dalam surat tersebut diungkapkan bahwa tim aprasial meminta DPRD dan warga untuk menunda kegiatan hari ini, Selasa (13/10) siang.
Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Lampung Tengah, Marsono, membaca Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Pada Pasal 2 menyebutkan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan berdasarkan asas; kemanusiaan; keadilan; kemanfaatan; kepastaian; keterbukaan; kesepakatan; keikutsertaan; kesejahteraan; keberlanjutan dan keselarasan.
“Kalau pada proses pembebasan lahan, ganti rugi lahan tidak adil, tidak sesuai dan justru menimbulkan kesengsaraan bagi warga maka tim independen dan tim aprasial yang tergabung dalam panitia proyek JTTS telah melanggar undang-undang," katanya.
Bila nanti pada proses selanjutnya tidak muncul kesepakatan harga, seperti yang diharapkan masyarakat, Marsono mengatakan lebih baik tim panitia dibekukan.