Kamis 08 Oct 2015 08:59 WIB

Mengapa Pasir Lumajang Jadi Rebutan?

Rep: Andi Nurroni/ Red: Nur Aini
Pegiat lingkungan yang tergabung dalam Tunggal Roso melakukan aksi solidaritas terhadap pembunuhan petani penolak tambang pasir Lumajang bernama Salim Kancil di depan Balaikota Malang, Jawa Timur, Senin (28/9).
Foto: Antara/Ari Bowo Sucipto
Pegiat lingkungan yang tergabung dalam Tunggal Roso melakukan aksi solidaritas terhadap pembunuhan petani penolak tambang pasir Lumajang bernama Salim Kancil di depan Balaikota Malang, Jawa Timur, Senin (28/9).

REPUBLIKA.CO.ID, LUMAJANG --- Pasir dari Lumajang disebut memiliki kualitas nomor satu sebagai bahan campuran beton. Pasir dari Lumajang dikenal memiliki kandungan besi (Fe) yang tinggi sehingga membuat beton lebih kokoh dibandingkan beton yang dibuat dari pasir asal wilayah lain.

Karena tingginya permintaan, bisnis pasir Lumajang sangat menjanjikan. Itulah mengapa, penambangan pasir di Lumajang marak, bahkan sebagian nekat membuka tambang ilegal. Hariyono, kepala Desa Selok Awar-Awar dan anak-anak buahnya, bahkan rela menghabisi Salim Kancil, pentolan warga yang menolak keberadaan tambang pasir mereka.  

Seorang pelaku bisnis pasir di Lumajang mengaku, pasir-pasir dari Lumajang selama ini, sebagian besar dikirim ke perusahaan-perusahaan pembuat material beton, seperti tiang pancang atau box culvert, terutama di Surabaya. Salah satu perusahaan besar yang dipasok, kata dia, adalah PT Merak Beton Mix. 

Tak hanya ke Surabaya, menurut sang sumber, ia pernah mengirim ke Samarinda, Kalimantan Timur dan Papua. "Kita kirim pakai (kapal) tongkang. Mereka suka pasir Lumajang karena irit semen. Jadi biaya produksi lebih murah dan kualitas lebih bagus," ujar sumber tersebut.

Pelaku bisnis pasir lainnya, seorang pengepul pasir di Lumajang menyebut, bisnisnya memiliki izin. Hanya saja, ia mengakui, ia tidak peduli pasir yang dijual kepadanya berasal dari mana, entah dari tambang legal maupun ilegal. Untuk mengamankan bisnisnya, menurut dia, para pengepul membayar "uang pengamanan" ke oknum-oknum polsisi setempat. 

Setiap bulan, kata dia, ia menyetorkan Rp 3 juta ke oknum-oknum polisi. Uang itu nilainya terkesan sedikit, menurut sumber tersebut, karena bisnisnya tergolong kecil. Sementar setoran lebih besar, menurut dia, berasal dari tambang ilegal dan pengepul besar. 

Ia menjelaskan, ia membeli pasir seharga Rp 300 ribu hingga Rp 400 ribu per truk, tergantung besaran truk. Ia menyebut, pasir itu kemudian dijual Rp 200 ribu per meter kubik ke perusahaan pembuat beton. 

Sang pengepul mengaku, ia hanya memiliki aset berupa tanah penampungan pasir dan satu unit ekskavator. Sementara soal angkutan, kata dia, sepenuhnya menjadi urusan penjual pasir dan pembeli. 

Pasir dari penjual, menurut dia, biasanya diantar menggunakan truk-truk kecil berkapasitas 8 meter kubik. Sementara pihak pembeli kemudian membawa pasir tersebut menggunakan truk tronton berkapasitas 25 meter kubik. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement