Rabu 07 Oct 2015 09:30 WIB

Ratusan Korban PHK Duduki Kantor Dinas Sosial Sultra

 Sejumlah pekerja korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) melakukan saksi demontrasi di kantor perusahaan tekstil PT. Primissima, Sleman, Yogyakarta, Selasa (1/9).
Foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko
Sejumlah pekerja korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) melakukan saksi demontrasi di kantor perusahaan tekstil PT. Primissima, Sleman, Yogyakarta, Selasa (1/9).

REPBLIKA.CO.ID, KENDARI -- Ratusan korban pemutusan hubungan kerja perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Damai Jaya Lestari di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, masih menduduki aula kantor Dinas Sosial Sultra.

"Kami akan terus bertahan di sini, sampai PT DJL membayarkan hak-hak kami para pekerja yang sudah diberhentikan sepihak oleh perusahaan," kata Adrianus Pitindali (43) di Kendari, Rabu (7/10).

Menurut dia, ratusan korban PHK yang seluruhnya berasal dari NTT itu, menjadi buruh di perkebunan kelapa sawit milik PT DJL, dijemput langsung oleh pihak perusahaan setelah berkoordinasi dengan pihak Dinas Tenaga Kerja Provinsi NTT.

Saat akan diberangatkan dari NTT menuju lokasi perkebunan PT DJL di Konawe Utara tahun 2009 kata dia, disepakati bahwa perusahaan akan memberikan upah kerja sebesar Rp60 ribu per hari dengan waktu kerja delapan jam per hari.

Jika para pekerja bekerja melewati jam kerja delapan jam dalam sehari kata dia, maka perusahaan akan memberikan uang lembur sebesar Rp 7.000 per jam.

"Di tahun pertama kami bekerja, perusahaan masih memberikan kami upah sesuai kesepakatan saat di NTT, Rp60.000 per hari, namun uang lembur yang dijanjikan, tidak dibayarkan," katanya.

Memasuki tahun kedua, tahun 2010 kata dia, perusahaan mengurangi hari kerja dari 30 hari dalam sebulan menjadi hanya 24 hari dengan upah tetap dibayar Rp 60.000 per hari dan jam lembur tidak dibayar.

Di tahun ketiga (tahun 2011) ujarnya, hari kerja dalam sebulan dikurangi lagi menjadi tersisa tinggal 13 hari.

"Dengan masa kerja 13 hari, jelas kami tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari karena pendapatan bekerja sebagai buruh tinggal Rp780.000 per bulan," katanya.

Adrianus bersama rekan-rekannya mengaku tidak akan meninggalkan Aula Dinsos Sultra sebelum pihak PT DJL membayarkan uang lembur pekerja selama 60 bulan atau lima tahun.

Sementara itu, manajer Operasional PT DJL, Uli Sitorus saat dengar pendapat dengan DPRD Sultra di gedung DPRD di Kendari, Selasa kemarin, membantah kalau PT DJL telah mengabaikan hak-hak pekerja di perusahaan itu.

"Perusahaan telah memberikan hak-hak pekerja sesuai dengan ketentuan dan yang berlaku," katanya.

Bila masih ada hak-hak pekerja yang belum diberikan perusahaan kata dia, perusahaan akan bertanggung jawab, sepanjang hak-hak yang terbaikan tersebut disertai dengan bukti-bukti lengkap.

"Sejauh pekerja dapat memberikan bukti tentang pengabaian hak-hak mereka, perusahaan siap menyelsaikan masalah itu," katanya pada dengar pendapat yang dipimpin Ketua DPRD Sultra, Abdul Rahman Saleh itu.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement