REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Dulunya Kabupaten Gunungkidul merupakan daerah berhutan lebat. Namun, eksploitasi hutan secara besar-besaran dari Pemerintah Belanda mengakibatkan wilayah ini berubah menjadi daerah kering, tandus, dan rentan kemiskinan. Terutama pada periode tahun 1940 hingga 1970.
Dosen Fakultas Kehutanan UGM, Wahyu Wardhana mengatakan berbagai upaya penghijauan dan rehabilitasi telah dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat lokal. Sampai akhirnya proses tersebut berhasil membawa perubahan di wilayah Kabupatan Gunungkidul menjadi lahan hijau dengan berbagai vegetasi.
“Saat ini di Gunungkidul sudah cukup banyak pepohonan sehingga tampak hijau. Berbeda dengan dengan puluhan tahun lalu. Sebagian besar wilayahnya didominasi tanah berbatu yang tandus, gersang, dan kering,” tuturnya, Selasa (6/10).
Dalam disertasinya yang berjudul ‘Resiliensi, Transisi, dan Proses Rehabilitasi Lahan di Kabupaten Gunung Kidul: Tinjauan Kompleks Sistem’, Wahyu mengemukakan berbagai perubahan lahan yang terjadi di Gunungkidul dalam rentang waktu tahun 1970-2012. Perubahan yang terjadi merupakan hasil dari kegiatan rehabilitasi lahan.
Kegiatan tersebut menurunkan luas lahan tanah berbatu dari 133.182,98 ha menjadi 9,41 ha. “Selama periode tersebut, pola transisi lahan menunjukkan tren positif dengan dinamika proses bervariasi di setiap zona,”ujarnya.
Variasi ini disebabkan oleh perbedaan karakteristik pengelolaan lahan yang berkembang pada setiap zona bentang lahan. Misalnya, pada zona Baturagung, pola transisi berlangsung cukup dinamis karena adanya aktivitas memanen hasil hutan oleh masyarakat.
Maka dalam rentang waktu 1990 hingga 2000 terjadi pengurangan tutupan vegetasi berkayu. Demikian pula yang terjadi pada zona karst merupakan pola transisi yang dinamis dan meningkat secara drastis sejak tahun 1980. Hal ini didorong oleh kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Karena kawasan tersebut menjadi bagian yang paling kritis.
Perbedaan proporsi bentuk penggunaan pada setiap zona bentang lahan, merupakan gambaran adanya variasi biofisik yang beragam. Selain pola perubahan lahan, interaksi antara kondisi biotik dan abiotik dalam upaya pemulihan lahan di Kabupaten Gunungkidul dicirikan dengan adanya variasi pola tanam.
”Ada tiga macam variasi pola tanam yaitu pohon batas, pohon larikan, dan pohon penuh yang membentuk dan mewarnai variasi penutupan lahan di wilayah Gunungkidul,” tuturnya. Melihat kondisi ini, Wahyu menekankan pentingnya perhatian variasi kondisi biofisik pada suatu bentang lahan sebagai landasan implementasi kegiatan rehabilitasi
Sementara itu, keberadaan masyarakat menjadi modal utama untuk mengakselerasi kegiatan rehabilitasi. “Kegiatan rehabilitasi ke depan sebaiknya berbasis tapak, mempertimbangkan aspek historis dan manusia, serta didasarkan pada sekenario rancangan transisi yang jelas,” katanya menegaskan.