Sabtu 03 Oct 2015 17:57 WIB

GKR Hemas: Pemahaman Masyarakat tentang Batik Masih Kurang

Rep: Neni Ridareni/ Red: Indira Rezkisari
Siswa sekolah dasar belajar membatik tulis di Museum Tekstil, Jakarta Pusat, Jumat (2/10). (Republika/Yasin Habibi)
Siswa sekolah dasar belajar membatik tulis di Museum Tekstil, Jakarta Pusat, Jumat (2/10). (Republika/Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA - Pemahaman Masyarakat tentang batik disadari masih kurang. Artinya, masih diperlukan upaya untuk mengedukasi masyarakat tentang apa itu sebenarnya batik.

Hal itu dikemukakan Ketua Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) DIY GKR Hemas pada saat memberikan sambutan dalam acara Seminar Sosialisasi “Yogyakarta The World Crafts City of Batik” (Yogyakarta sebagai Kota Batik Dunia), di Ballroom Kasultanan Royal Ambarukmo, Sabtu (3/10).

Menurut Hemas, yang dipahami  kebanyakan orang, batik itu adalah sekedar motif saja. Sehingga mereka sudah merasa mengenakan batik bila mengenakan kain yang bermotif seperti batik. Padahal  itu sebetulnya tekstil hanya motifnya seperti pada motif batik atau yang dikenal dengan printing dan mulai banyak berasal dari luar alias diimpor, kata permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono X ini.

‘’Oleh karena itu kita harus sering memberikan penjelasan tentang batik di manapun kita mempunyai kesempatan dan juga memberikan contoh dan konsisten untuk mengenakan batik yang sesungguhnya. Membatik itu, kata dia menambahkan, memerlukan proses panjang, mulai dari desain, kemudian menggoreskan malam dengan canting, mewarna, melorod dan seterusnya yang melibatkan banyak pihak.''  

‘’Memiliki sebuah predikat “Yogyakarta sebagai Kota Batik Dunia”, pastinya kita berbangga dan kita akan percaya diri bila mengenakan batik. Dan, sebaliknya kita harus malu bila mengenakan tekstil yang bermotif batik,’’ kata Wakil Ketua DPD RI ini.

Lebih lanjut Hemas mengungkapkan dengan predikat tersebut berarti Yogyakarta sebagai rujukan utama untuk masalah batik.  Namun, hal ini tidak dimaksudkan bahwa batik itu hanya ada di Yogyakarta. Akan tetapi justru akan menjadi pendorong bagi daerah lain yang sudah menempatkan batik sebagai sebua primadona ekonomi di daerah.

Hal senada juga dikemukakan  Ketua KADIN DIY GKR Mangkubumi mengatakan yang perlu dipahami dengan seksama oleh semua pihak adalah bahwa Yogyakarta sebagai Kota Batik Dunia nantinya bukan hanya milik masyarakat Yogyakarta semata. Akan tetapi juga milik bangsa Indonesia. Kaena dari Yogyakarta akan disebarluaskan ke seluruh dunia tentang berbagai ragam kekayaan batik Indonesia (Yogyakarta, Solo, Cirebon, Pekalongan, Tuban, Madura,dan lain-lain).

Sementara itu Ketua Umum Paguyuban Pencinta Batik Sekar Jagad Larasati Suliantoro Sulaiman mengatakan sekarang batik semakin terpuruk dan semakin hilang dari pasaran.. Sekarang justru tekstil motif batik lebih mendominasi. ‘’Kami tidak mempunyai kekuatan apapun untuk menghindari tekstil motif batik,’’tuturnya.

Vice President WCC (World Crafts Council) Wilaya Regional Asia Pasifik Hesti Indah Kresnarini mengatakan printing tidak bisa dilarang karena ada konsumennya. Yang penting masyarakat tidak dibohongi.

Karena itu, saran dia, agar masyarakat bisa membedakan mana batik yang sebenarnya, tiap daerah penghasil batik bisa memberikan label seperti “batik tulis”, “batik cap”, “batik cap kombinasi tulis”.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement