Sabtu 03 Oct 2015 06:00 WIB

Ladang Pahala dan Dosa di Media Sosial

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

Rasulullah SAW bersabda, "Apabila seorang anak Adam mati, putuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah atau ilmu yang memberi manfaat kepada orang lain atau anak saleh yang berdoa untuknya," (Sahih Muslim).

Sedekah jariyah punya keterbatasan karena tergantung kemampuan finansial. Doa anak saleh juga terbatas, tergantung jumlah anak, umur anak, dan keturunannya. Namun, ilmu yang bermanfaat, dia tidak dibatasi waktu, tempat, dan manusia yang mengambil manfaat darinya. Selama masih ada manusia hidup, selama belum kiamat, peluang pahala dari ilmu yang bermanfaat insya Allah terus terbuka.

Dulu, untuk mendapat pahala dari manfaat ilmu butuh waktu panjang. Seorang guru mengajar pada 10 murid, misalnya. Lalu 10 murid mengajar pada 10 murid lain. Kalau kaderisasi berhasil, maka kebaikan di sisi-Nya bisa terus bertambah.

Setelah mesin cetak ditemukan, ilmu bisa diturunkan tanpa mengharuskan murid bertemu langsung dengan guru. Berbagai bidang yang dulu hanya diakses segelintir orang, kini menyebar luar biasa.

Bayangkan, betapa besar pahala Imam Bukhari atau Muslim yang menghimpun hadis untuk menjaga kemurniannya. Setelah berabad-abad, sampai saat ini pun pahala masih mengalir kepada mereka.

Keberadaan media sosial saat ini memiliki daya untuk melipatgandakan pahala, nyaris tanpa biaya dan lebih mudah. Tinggal berbagi inspirasi kebaikan lewat Facebook, Twitter, atau jejaring sosial lain. Semakin tersebar, semakin berganda pula pahala kita. Subhanallah.

Rasulullah Saw bersabda, "Barang siapa mengajak kepada suatu kebaikan, maka ia mendapat pahala seperti orang yang mengikutinya, dengan tidak mengurangi sedikit pun pahala-pahala mereka." (HR Muslim).

Sayangnya, ada sebagian orang yang memilih menjadikan media sosial sebagai sarana penabur keburukan: mencela, mengolok-olok, memfitnah, bahkan pada taraf tertentu membunuh karakter orang lain. Lucunya, tidak sedikit yang mengira mereka bakal bebas begitu saja karena menggunakan akun palsu. Dari hukum dunia mungkin, tetapi Allah tahu siapa manusia di balik akun yang berbuat keburukan dan ada konsekuensi untuk itu.

Allah bahkan memberi fasilitas bagi korban fitnah untuk mengambil pahala yang memfitnah di akhirat nanti. Jika pahala habis maka dosa yang difitnah dialihkan ke orang yang menfitnahnya.

Suatu ketika Rasulullah SAW bertanya kepada sahabat-sahabatnya, "Tahukah kalian siapa sebenarnya orang yang bangkrut?" Para sahabat menjawab, "Orang yang bangkrut menurut pandangan kami adalah seorang yang tidak memiliki dirham (uang) dan tidak memliki harta benda."

Kemudian Rasulullah SAW berkata, "Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat membawa pahala shalat, pahala puasa, pahala zakat, dan pahala hajinya, tetapi ketika hidup di dunia dia mencaci orang lain, menuduh tanpa bukti terhadap orang lain, memakan harta orang lain (secara bathil), menumpahkan darah orang lain (secara bathil), dan dia memukul orang lain. Maka sebagai tebusan atas kezalimannya, diberikanlah di antara kebaikannya kepada orang yang dizaliminya. Semuanya dia bayarkan sampai tidak ada yang tersisa lagi pahala amal salehnya. Tetapi orang yang mengadu ternyata masih datang juga. Maka Allah memutuskan agar kejahatan orang yang mengadu dipindahkan kepada orang itu. Dan (pada akhirnya) dia dilemparkan ke dalam neraka."

Kata Rasulullah SAW selanjutnya, “Itulah orang yang bangkrut di hari kiamat, yaitu orang yang rajin beribadah tetapi dia tidak memiliki akhlak yang baik. Dia merampas hak orang lain dan menyakiti hati mereka.” (HR Muslim nomor 6522).

Dalam konteks zaman dulu, tanpa medsos, orang yang menuduh tanpa bukti bisa bangkrut di akhirat, apalagi jika mereka melakukannya di media sosial. Semakin banyak follower, maka yang terpengaruh tuduhannya pun bertambah, belum jika mereka lalu me-retwit atau share?

"Dan barang siapa yang mengajak kepada kesesatan maka ia akan mendapat dosa seperti orang yang mengikutinya dengan tidak mengurangi sedikit pun dosa-dosa mereka." (HR Muslim). Amal yang tak seberapa semoga tak menguap sia-sia.

Hal yang sama berlaku bagi para penulis. Jika baru lansiran media, katakan tanpa dipelintir. Jika ada bantahan, cantumkan agar berimbang. Tak ada kesalahan, sekecil apa pun yang Allah SWT akan luput menghitungnya. Terlebih jika mereka yang difitnah tidak bersedia memaafkan, maka ini menjadi tabungan yang kelak akan menyedot amal sang pemfitnah. Jika dulu gosip cuma didengar satu dua orang, di era medsos kabar menyebar seperti multilevel, mencapai ribuan bahkan jutaan orang.

Pertanyaannya, seberapa besarkah tabungan amal yang dimiliki seorang hamba hingga berani menyebarkan ketidakbenaran? Bijak sebelum menuding di media sosial, pun keseharian. Berlindung kepada Allah SWT dari menjadi agen gibah dan fitnah. Pastikan kebenaran informasi dan hikmahnya untuk diri juga umat.

Sungguh, Allah Mahatahu. “Orang Mukmin menutup aib dan menasehati. Orang jahat membuka aib dan mengata-ngatai." (Syeikh Fudhail bin 'Iyadh, w. 803 M, terima kasih Gus Mus untuk mengingatkan hal ini).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement