REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politisi Partai Golkar Mahyudin mengingatkan, keputusan MK yang mengizinkan adanya calon tunggal dalam Pilkada serentak bisa menimbulkan masalah.
Berbagai masalah itu adalah apabila suara yang tidak setuju dengan sang calon, serta status anggota dewan yang mencalonkan tapi harus mengundurkan diri dari jabatannya.
"Calon tunggal ini bisa menimbulkan masalah lain juga, misalnya ternyata mayoritas suara pemilih menyatakan tidak setuju, maka akan menimbulkan masalah baru," kata Mahyudin, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (1/10).
Di satu sisi, lanjut dia, keputusan MK yang kedua adalah memberikan kemudahan untuk calon independen, dapat diartikan meskipun negara tidak melarang calon tunggal, tapi kemungkinan mempersulit tetap harus diminimalkan, denga cara memperingan syarat calon.
Tapi di sisi lain, MK mensyaratkan kepada para anggota DPR, DPRD, DPD harus mundur dari jabatannya kalau maju jadi calon dalam Pilkada. Hal itu, dinilai dia memberatkan kader-kader partai untuk ikut dalam pencalonan Pilkada.
"Padahal mereka itu adalah kader-kader terbaik partai yang telah terpilih melalui pemilu, yang sangat berpotensi untuk maju sebagai calon kepala daerah di pilkada-pilkada," ujarnya.
Meski demikian, Mahyudin mengaku mendukung keputusan MK, sehingga beberapa daerah yang hanya memiliki calon tunggal bisa jalan untuk Pilkada serentak. Namun, harus dicermati juga, keputusan MK tersebut dengan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menyatakan pendapatnya bisa setuju atau tidak setuju, melalui pemilihan yg mirip dengan referendum.
Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan mengungkapkan, dirinya menghormati putusan MK. Tapi, ia mengingatkan kepada MK untuk hati-hati mempergunakan kalimat-kalimat referendum.
"Jangan buka-buka kotak pandora. Hati-hati, tidak ada pilkada referendum itu, yang ada memilih iya atau tidak," ucap Zulkifli.
Menurut dia, Pilpres dan Pilkada itu berbeda, mereka punya ketentuan tersendiri. Namun, setuju atau tidak, kalau sudah diputuskan MK semua pihak harus patuh.