Kamis 01 Oct 2015 08:51 WIB
Pembunuhan Salim Kancil

Sosiolog: Jasa Preman Masih Diandalkan untuk Bungkam Protes

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Bayu Hermawan
Puluhan warga dan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Pekalongan Menggungat melakukan aksi solidaritas terhadap kasus pembunuhan petani penolak tambang pasir di Lumajang bernama Salim Kancil di kawasan Jalan Pemuda, Pekalongan, Jawa Tengah, Rabu (30/9).
Foto: Antara/Pradita Utama
Puluhan warga dan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Pekalongan Menggungat melakukan aksi solidaritas terhadap kasus pembunuhan petani penolak tambang pasir di Lumajang bernama Salim Kancil di kawasan Jalan Pemuda, Pekalongan, Jawa Tengah, Rabu (30/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sosiolog sekaligus Wakil Rektor I Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor, Musni Umar menilai jasa para preman masih diandalkan untuk menyelesaikan konflik sosial, khususnya yang berkaitan dengan ekonomi.

"Padahal ini salah pendekatannya," ucapnya kepada Republika.co.id, Rabu (30/9) sore.

Ia melanjutkan, kalau dilakukan melalui pendekatan dialog, pemerintah bisa berperan sebagai mediator dalam mempertemukan antara pihak-pihak yang setuju dan tidak sehingga memunculkan win-win solution. Sayangnya dalam banyak kasus, alih-alih membela rakyat kecil, pemerintah malah seringkali memihak pada pemodal.

"Ini titik kesalahannya, bukan hanya terjadi di Lumajang, Jawa Timur, tapi juga di daerah lain," kata dia.

Harusnya setiap ada konflik antara warga dan pengusaha, jangan gunakan kekerasan, tapi pilihlah pendekatan dialogis. Menurut Musnis, kasus pembunuhan Salim Kancil harus diusut sampai ke akar-akarnya.

Jika dibiarkan, khawatirnya akan terulang kembali. Sejak zaman orde baru hingga reformasi, pendekatan kekerasan kerap terjadi. Hanya saja di era orde baru, fakta sulit terkuak. Sedangkan di era reformasi, ada keterbukaan informasi yang tidak terbendung. Setiap kejahatan cepat atau lambat akan terungkap.

"Saya yakin kasus kebanaran di balik kasus Salim Kancil ini bisa terungkap karena hampir seluruh media mem-blow up masalah ini," ujarnya.

Dia menyebut sejak dulu aktivis memang rentan mengalami kekerasan. Misalnya berupa pencekalan hingga penahanan selama berbulan-bulan.

"Para aktivis harus siap sedia dengan risiko terberat yang dihadapi, bukan hanya penjara tapi juga kehilangan nyawa," ucapnya.

Dalam rangka mewujudkan nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi, seharusnya tidak lagi terjadi kekerasan terhadap para aktivis maupun masyarakat lainnya. Harus mengedepankan pendekatan dialogis dalam rangka wujudkan kebaikan bersama.

"Saya rasa ini yang tidak diwujudkan oleh mereka yang terlibat dalam konflik di Lumajang," kata Musni.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement