Rabu 30 Sep 2015 18:33 WIB
Salim Kancil

Anak Salim Kancil Punya Cita-Cita Ingin Jadi Polisi

Rep: Andi Nurroni/ Red: Angga Indrawan
Pegiat lingkungan yang tergabung dalam Tunggal Roso melakukan aksi solidaritas terhadap pembunuhan petani penolak tambang pasir Lumajang bernama Salim Kancil di depan Balaikota Malang, Jawa Timur, Senin (28/9).
Foto: Antara/Ari Bowo Sucipto
Pegiat lingkungan yang tergabung dalam Tunggal Roso melakukan aksi solidaritas terhadap pembunuhan petani penolak tambang pasir Lumajang bernama Salim Kancil di depan Balaikota Malang, Jawa Timur, Senin (28/9).

REPUBLIKA.CO.ID, LUMAJANG -- Dio Eka Saputra (13 tahun), anak Salim Kancil, menyebut ingin menjadi polisi ketika besar nanti. Bocah kelas 5 SD itu bercita-cita menjadi polisi karena pekerjaan itu, menurut dia, terlihat keren.

"Suka lihat polisi di tv. Biar bisa melindungi masyarakat," ujar Dio, berbicara didampingi ibunya, Tijah (40), di rumah mereka di Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Lumajang, Selasa (29/9).

Ditemui dalam suasana berkabung sepeninggalan ayahnya, Salim Kancil, Dio tak bisa menyembunyikan perasaan dukanya. Raut wajahnya lesu dan sesekali tatapannya terlihat kosong. 

Meski begitu, anak itu terlihat bersikap tegar. Ia mampu berkomunikasi dengan baik, bahkan berani menimpali ketika mendengar orang-orang dewasa di sekitarnya membicarakan tragedi kematian sang bapak. Ia berusaha meluruskan jika ada bagian cerita yang keliru berdasarkan pengetahuannya.

Bocah berambut ikal itu memang satu-satunya orang yang menyaksikan bagaimana sang bapak diambil 40-an orang preman tambang pasir dari rumahnya, Sabtu (26/9). Salim Kancil diculik untuk dianiaya, hingga kemudian dibunuh di hutan sengon dekat kuburan, 1,5 kilomter dari rumahnya.

Kesan saat Republika menjumpainya, anak itu terlihat cerdas dan cakap. Dia bukan tipe anak pemalu meskipun terlahir dari keluarga petani yang sederhana. Dengan postur tinggi kurus, kulit kuning langsat dan hidungnya yang mancung, anak itu terlihat tampan.

"Ya, ngganteng, kayak bapaknya, Mas," kata sang ibu, Tijah, seraya tersenyum ketika anaknya itu dipuji.

Menginjak usia 13 tahun, seharusnya memang Dio duduk di kelas 6. Dia tak malu mengakui pernah tidak naik kelas ketika kelas 1. "Saya, anu, suka ikut bapak ke sawah, sering bolos waktu kecil," kata dia. 

Setelah sempat tidak naik kelas, ia kemudian menjadi semangat belajar. Setiap hari, kecuali akhir pekan, dia selalu menyempatkan waktu untuk belajar.  Sepulang sekolah pukul 13.00, mula-mula ia akan shalat, lalu pergi membersihkan kotoran sapi dan kambing milik keluarganya, serta memberi makan hewan-hewan ternak itu. 

Pukul 13.30, menurut Dio, ia lalu tidur hingga pukul 16.00, lalu bangun, sholat ashar, lantas belajar sampai pukul 20.00. Di atas tikar, di tengah rumah, ia kemudian tidur setelah belajar. Dia lalu akan bangun pada waktu subuh.

Dio mengaku menyenangi matematika. Sejak kelas 4, ia selalu mendapat nilai A untuk mata pelajaran itu. Dio punya cita-cita untuk bisa kuliah di perguruan tinggi.  Dalam diamnya, ibu dan almarhum ayahnya pun tentu berharap anak bungsunya itu menjadi anak sukses. Mereka pasti berharap Dio bisa melampau ayah-ibunya yang tak pernah sekolah dan buta huruf. 

Terpisah, Bupati Lumajang As'at Malik berjanji untuk memberikan bantuan pendidikan untuk Dio. Hal itu menjawab tuntutan para mahasiswa yang berdemonstras di depan kantornya. "Adik-adik mahasiswa minta putra almarhum, adik Dio, dibiayai pendidikannya, oke, akan kami penuhi," kata dia kepada wartawan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement