REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) berbasis agama telah memiliki kesadaran tanggap bencana. Hal ini ditandai dengan adanya divisi khusus penanganan bencana di dalam struktur kepengurusan mereka.
"Kami memiliki Barisan Serba Guna (Banser) yang salah satu bidang kepengurusannya bernama Bantuan Siaga Bencana atau Bagana," kata Ketua DPP Gerakan Pemuda (GP) Ansor Ace Hasan Syadzily saat dihubungi Republika, Jumat (25/9).
Bagana merupakan divisi wajib di setiap kepengurusan GP Ansor level pusat, provinsi, dan kota/ kabupaten. Secara rutin anggota Bagana mendapat pelatihan keterampilan tentang penanganan bencana. Biasanya pelatihan juga melibatkan melibatkan para ahli dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
"Kami dalam beberapa kesempatan sudah kerja sama dengan BNPB untuk memperkuat skill," ujar Ace.
Ace mengatakan pelatihan untuk anggota Bagana disesuaikan dengan potensi kebencanaan di masing-masing daerah. Untuk Provinsi DKI Jakarta misalnya, Bagana pelatihan lebih difokuskan pada pencegahan dan penanganan kebakaran.
"Di GP Ansor DKI ada namanya gerakan relawan antikebakaran. Tujuannya membantu membangun kesadaran tanggap darurat saat terjadi kebakaran," kata Ace.
Sayangnya, belum ada sinergi dan koordinasi antara satu ormas dengan ormas lain dalam aksi tanggap bencana. Ace mengatakan, selama ini Bagana bergerak sendiri dalam menangani bencana. Dia berharap lembaga tanggap bencana resmi pemerintah bisa membantu mensinergikan potensi ormas.
"Koordinasi harus dilakukan pemerintah terhadap kelompok ormas," ujar Ace.
Sinergi antarormas dalam penanganan bencana sangat penting. Hal ini agar aksi tanggap bencana bisa lebih terkoodinasi, efektif, dan efisien. Apalagi, kata Ace, ormas punya kelebihan tersendiri dalam menangani bencana.
Ace menyebut kelebihan ormas di antaranya: memiliki jaringan sumber daya manusia yang besar, memiliki akses ke masyarakat yang efektif, dan memiliki pengetahuan tentang kondisi sosial masyarakat yang ditimpa bencana. "Karena ormas berasal dari masyarakat juga," kata Ace.
Ace mengatakan BNPB perlu membuat semacam modul acuan penanganan bencana bagi para ormas. Modul itu tidak hanya berisi soal teknis keterampilan tapi juga soal bagaimana membangun koordinasi, membagi tugas, dan mendistribusikan bantuan secara efektif kepada korban bencana di lapangan.
"Penanganan bencana bukan hanya tugas pemerintah, tapi juga tugas masyarakat," ujar Ace.
Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Yunahar Ilyas mengatakan organisasinya juga memiliki divisi khusus tanggap bencana. Divisi itu bernama Lembaga Penanggulangan Bencana (LPB). "Ya, kami setiap ada bencana pasti kirim relawan," kata Yunahar kepada Republika.
Sejauh ini LPB bekerja cukup baik. Mereka tidak hanya memberikan bantuan bencana kepada korban di Tanah Air, tapi juga di luar negeri. Dia mencontohkan LPB mengirimkan bantuan kemanusiaan kepada para korban bencana tanah longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah dan korban gempa di Nepal beberapa waktu lalu. Muhammadiyah juga menjalin koordinasi dengan BNPB untuk menolong korban gemba Nepal.
Kesadaran membentuk divisi tanggap bencana juga dimiliki ormas Persatuan Islam (Persis). Mereka memiliki divisi tanggap bencana bernama Lembaga Siaga Bencana (Sigab). "Ini bekerja sama dengan Pusat Zakat Ummat (PZU) dan sebagai penyalur dari lembaga ketiga yang menitipkan bantuan," kata Sekretaris Umum Persis Irfan Safruddin.
Irfan mengatakan, Sigab turut membantu korban bencana alam tsunami Aceh tahun 2004, gempa Yogyakarta, banjir besar di Bandung, tsunami Pangandaran, letusan Gunung Merapi, letusan Gunung Sinabung, dan juga beberapa bencana lainnya seperti banjir bandang di Garut, banjir Maluku, bahkan sampai mancanegara, seperti Rohingya dan Gaza.
Irfan menyatakan, Sigab juga membuat posko untuk membantu memantau bencana susulan atau mencari korban yang hilang saat bencana. Terkait sumber dana, Irfan mengatakan, bantuan kemanusiaan diperoleh dari anggota Persis maupun umat Islam.
Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) memiliki divisi tanggap bencana bernama Qadha Mashalih HT. Divisi ini berperan khusus membantu para korban bencana alam. Mereka selalu siap kapan saja dan di mana saja dibutuhkan. "Kami kondisional saja kalau ada bencana langsung sigap," kata juru bicara HTI Ismail Yusanto.
Ismail menjelaskan, divisi Qadha Mashalih telah membantu korban bencana alam saat tsunami Aceh, tsunami Pangandaran, letusan Gunung Gerapi, letusan Gunung Sinabung, dan juga beberapa bencana lainnya. Mereka juga mengirimkan bantuan kemanusiaan untuk penduduk Gaza, Palestina.
Dia mencontohkan, saat di Banjarnegara Qadha Mashalih HTI menyalurkan bantuan wakaf Alquran, sajadah, perbaikan pipa saluran air, dan bantuan uang tunai senilai Rp 8 juta. "Terakhir, membantu bencana waktu longsor di Banjarnegara Jawa Tengah," katanya.
Bantuan yang disalurkan HTI bukan sekadar materi, melainkan juga mental spiritual berupa siraman rohani. Ismail mengungkapkan, dana dikumpulkan dengan membuka rekening yang diumumkan melalui media massa.
Kepala Bidang Peran Organisasi Sosial Masyarakat BNPB Sigit Pramono mengakui peran penting ormas dalam membantu korban bencana. Namun begitu, Sigit berpendapat ormas-ormas perlu saling berkoordinasi dan bersinerg dalam bekerja. "Koordinasi masih perlu ditingkatkan," ujarnya.
Sigit mengatakan, tidak semua ormas memiliki divisi tanggap bencana di tingkat daerah. Hal ini menurut dia, membuat koordinasi antara Badan Penanggulangan Becana Daerah (BPBD) dengan ormas tidak berjalan. Kendala lainnya adalah soal keterbatasan anggaran.
Sigit mengatakan, ada ormas yang mau bekerja sama jika mendapat insentif anggaran. "Padahal kami memiliki keterbatasan anggaran," ujarnya.
Sigit mengatakan, BNPB biasanya menjalin koordinasi dengan ormas-ormas yang telah mapan secara sumber daya manusia maupun anggaran. Hal ini karena ormas-ormas yang mapan tidak membutuhkan lagi insentif anggaran. Mereka hanya perlu tahu pembagian peran dan wilayah bencana sesuai komando BNPB.
"Kami memfasilitasi ormas yang sudah punya kelompok relawan," kata Sigit
Sigit mengatakan, BNPB telah berupaya membangun sinergi tanggap bencana dengan berbagai kalangan. Dia mengatakan BNPB biasa menggelar koordinasi rutin dengan para relawan dari ormas. Materi koordinasi biasanya berisi peningkatan pengetahuan penanganan bencana dan pengurangan risiko bencana berdasarkan keahlian masing-masing relawan.
Salah satu agenda koordinasi BNPB dengan para relawan akan digelar pada Oktober mendatang. Sigit mengungkapkan akan ada ratusan relawan dengan berbagai keahlian yang datang untuk bersilaturrahmi.
"Nanti ada sekitar 700 sampai 1000 relawan. Ada yang bahas dapur umum, pengobatan medis, dan lain-lain," ujar Sigit.
Sigit berharap, koordinasi penanganan bencana di antara sesama ormas maupun BNPB bisa terjalin baik. Dia jua mengimbau setiap ormas untuk pelan-pelan membentuk divisi tanggap bencana yang professional, mandiri, dan teroganisir di setiap daerah. "Kami mendorong agar ormas membuat cabang di daerah," harap sigit.