Sabtu 19 Sep 2015 00:20 WIB

'Ketiadaan GBHN Membuat Pembangunan di Indonesia Tak Terarah'

Rep: Eko Supriyadi/ Red: Bayu Hermawan
Presiden Joko Widodo dalam kunjungan kerja ke Sumatera Selatan (Sumsel), Ahad (6/9), meninjau pelaksanaan pembangunan jalan tol Palembang – Indralaya di Kabupaten Ogan Ilir (OI).   (foto : dok Humas Pemprov Sumsel)
Presiden Joko Widodo dalam kunjungan kerja ke Sumatera Selatan (Sumsel), Ahad (6/9), meninjau pelaksanaan pembangunan jalan tol Palembang – Indralaya di Kabupaten Ogan Ilir (OI). (foto : dok Humas Pemprov Sumsel)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG --Pimpinan Badan Pengkajian Martin Hutabarat, melihat dua persoalan ketatanegaraan seperti diungkapkan Presiden kelima Megawati Soekarnoputri. Yaitu soal ketiadaan GBHN serta Presiden yang harus berpidato sebanyak tiga kali dalam sidang tahunan.

Ia menjelaskan, pertama, pada 14 Agustus 2015, Presiden Joko Widodo berpidato tiga kali di parlemen. Ia bingung mengapa seorang presiden harus pidato sampai tiga kali, padahal peserta rapatnya sama.

Kedua, kata Martin, Megawati juga mengungkapkan pentingnya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Megawati mengatakan GBHN penting Karena sekarang Indonesia tidak memilki GBHN. GBHN, lanjut Martin, sangat penting karena menjadi arah pembangunan untuk 25 sampai 50 tahun ke depan.

"Sekarang bicara tol laut, kemudian poros maritim. Tapi presiden yang akan datang berbeda lagi. Berapa investasi yang sudah keluar. Pembangunan tidak bisa diserahkan pada visi misi presiden," katanya ketika membuka temu pakar yang dihadiri sekitar 30 orang pakar dan tokoh, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bekerjasama dengan Bakesbangpol Provinsi Jawa Barat di Hotel Savoy Homann, Bandung, Jumat (18/9).

Dari persoalan itu, lanjut Martin, sistem ketatanegaraan Indonesia perlu diperbaiki. Indonesia harus menata lembaga-lembaga negara agar berjalan sesuai fungsinya. Sebelumnya ada sistem lima tahunan, lembaga-lembaga negara bisa berjalan sesuai mekanisme.

Dengan temu pakar ini, Martin berharap bisa dicari sebuah sistem agar lembaga-lembaga negara berjalan sesuai sistem ketatanegaraan yang kita bentuk demi untuk kepentingan rakyat. Temu pakar ini membahas implementasi Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 dalam sistem ketatanegaraan.

Para pakar yang hadir di antaranya Nanat Fatah (mantan Rektor UIN), Nina Lubis, Ganjar Kurnia (mantan Rektor Unpad), Haryo Natodirjo, juga dari kalangan organisasi masyarakat (Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama), bahkan tokoh FPI (Front Pembela Islam).

Temu pakar juga disupervisi anggota MPR yaitu Pimpinan Badan Pengkajian Martin Hutabarat, Shodiq Mujahid (F Gerindra), Achmad Zaky Sirad (F Golkar), dan Yanuar Prihatin (F PKB).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement