REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Ahli arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember 1945 (ITS) Surabaya, Dr Arina Hayati ST.MT, menyatakan konstruksi bangunan di Surabaya selama ini masih mengacuhkan penyandang disabilitas.
Ia mengatakan selama ini masih banyak konstruksi bangunan yang belum mau memikirkan penyandang disabilitas karena adanya anggapan sebagai kaum minoritas.
''Sehingga tidak begitu dipikirkan. Padahal sebagai seorang arsitek harus memiliki rasa empati, bukan hanya rasa simpati," kata dosen Jurusan Arsitektur itu setelah menghadiri bedah buku "Living Dignity bagi Difable" di Universitas Kristen Petra (UKP) Surabaya, Jumat (18/9).
Ia mengatakan seorang arsitek harus memiliki keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya pada keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain, seperti penyandang disabilitas.
"Kita lihat bahwa konstruksi bangunan di tempat terbuka, seperti mall, taman, apartemen, hotel, dan lainnya masih belum ada fasilitas pendukung untuk penyandang disabilitas karena untuk ada fasilitas tersebut memang membutuhkan biaya yang cukup mahal," tutur dosen yang juga menyandang disabilitas itu.
Menurut dia, hal ini sangat disayangkan karena ketika Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya membangun sebuah bangunan, penyandang disabilitas tidak pernah dilibatkan, sehingga fasilitas bagi penyandang disabilitas di Surabaya masih kurang.
"Seperti halnya di Taman Bungkul, saya pernah mencoba kemiringan tangga di sana, namun saya terlalu lelah karena kemiringannya itu lebih dari 10 persen, padahal seharusnya kemiringan tangga kurang dari 7 persen. Jika ada penyandang disabilitas yang menggunakan kursi roda, ketika ia naik, maka susah karena terlalu tinggi, sedangkan ketika turun, maka akan berjalan terlalu kencang," paparnya.