Kamis 17 Sep 2015 22:43 WIB

Jumlah Rakyat Miskin Lebih Besar dari Data BPS

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Winda Destiana Putri
Warga miskin yang tergabung dalam Jejaring Rakyat Miskin Kota Kendari menggelar Istigosah (doa bersama mohon pertolongan Tuhan) di Lapangan MTQ Kendari, Sultra, Sabtu (5/7).
Foto: Antara
Warga miskin yang tergabung dalam Jejaring Rakyat Miskin Kota Kendari menggelar Istigosah (doa bersama mohon pertolongan Tuhan) di Lapangan MTQ Kendari, Sultra, Sabtu (5/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Jumlah angka kemiskinan di Indonesia kemungkinan besar lebih banyak dari yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Data BPS yang menyebutkan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia sebanyak 28,59 juta orang hanya cerminan kondisi di akhir 2014 dan awal 2015.

Data DPS dikeluarkan sebelum nilai tukar rupiah anjlok tidak karuan. Kondisi perekonomian Tanah Air semakin memburuk di kuartal II dan III, tercermin dari banyak terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan harga kebutuhan yang melonjak.

"Saya sangat yakin per hari ini, angka kemiskinan lebih tinggi dari yang dirilis BPS,” ucap Direktur Sustainable Development Indonesia Drajad Wibowo saat dihubungi Republika.co.id," Kamis (17/9).

Angka kemiskinan BPS  lebih rendah dari yang semestinya karena mereka menggunakan perhitungan adalah standard 1 dolar AS, harusnya 2 dolar AS. Cara penghitungan yang digunakan BPS cenderung membuat jumlah penduduk lebih rendah dari semestinya.

"Buktinya adalah angka penduduk miskin BPS lebih rendah dari jumlah penerima bantuan langsung tunai (BLT) yang notabebe merupakan rakyat tidak mampu," ucapnya.

Bertanbahnya jumlah rakyat miskin mencerminkan strategi ekonomi yang diambil pemerintah keliru. "Strategi ekonomi yang kita ambil terlalu liberal, kurang pengamanan. Ini yang akhirnya membuat penduduk miskin semakin besar," ujar Drajad.

Kita harus menyadari bahwa tingkat pendidikan rakyat Indonesia masih rendah. Masih banyak penduduk di Indonesia yang akses terhadap pendidikannya masih sangat jelek, bahkan cukup banyak yang buta huruf. Negara, kata dia, tidak bisa menerapkan sepenuhnya pada mekanisme perusahaan. Harus ada tindakan intervensi dari negara untuk mengangkat kelompok-kelompok di bawah ini.

Sejauh ini sudah cukup banyak intervensi yang diberikan pemerintah, salah satunya lewat pemberian BLT.  Namun sayangnya intervensi yang diberikan ini tidak mendorong rakyat menjadi seorang entrepreneur. "Ini yang harus diubah, strategi ekonomi Indonesia selalu mengikuti buku, bukan berdasarkan realitas yang ada di masyarakat," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement