Rabu 09 Sep 2015 12:26 WIB

Meninjau Kembali Keberagaman Agama

Red: M Akbar
Keberagaman Agama (Ilustrasi)
Foto: ipsgampang.blogspot.com
Keberagaman Agama (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Farid Septian S.Sos

(Badan Amil Zakat Nasional I Divisi Pendistribusian dan Pendayagunaan)

Hari ini sesak nafas kita melihat pemberitaan media massa mengenai Islam. Ada benar peribahasa karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Segelintir orang yang mengaku muslim dan membela Islam justru melakukan perbuatan yang tidak Islami, bahkan terkesan menjadi anti-Islam. Tak pelak, Islam pun dilekatkan sebagai agama kekerasan, terorisme, anti-HAM, dan stigma lainnya yang senada dengan hal tersebut.

Islam pun dipersepsikan sebagai agama yang tidak beradab (uncivilized religion). Patut juga kita perhatikan potongan syair lagu “too many people wear a title of the muslim but they dont practice Islam” (Anon). Bahwa begitu banyak orang yang mengenakan 'baju' Islam, tapi mereka tidak mempraktekkan ajaran Islam.

Persepsi demikian tidak sepenuhnya salah tapi juga tidak sepenuhnya benar. Tidak sepenuhnya salah karena mereka yang melakukan tindak kekerasan dengan label Islam juga terprovokasi pada ketidakadilan (unjustice) dan ketidakmerataan (unequality), baik secara ekonomi maupun politik di tingkat global.

Tidak sepenuhnya benar karena bagaimanapun tindak kekerasan tidak dibenarkan. Kalaupun boleh dilakukan, dalam perang yang sah terdapat bingkai Hukum Humaniter. Dalam sejarah dapat kita saksikan perselisihan tidak hanya terjadi antaragama, tapi juga di internal agama itu sendiri yang tak jarang menjatuhkan korban jiwa.

Menarik apa yang disampaikan oleh Jusuf Kalla dalam International Conference on Islam, Civilization, and Peace di Jakarta 23-24 April 2013. Ia memulai presentasi makalah yang berjudul 'Islam and Peaceful Justness' dengan kalimat pertanyaan yang menggelitik.

JK bertanya,“Berapa kali umat Islam mengucapakan assalamualaikum setiap harinya? Berapa kali umat Kristen mengucapkan shalom? Begitu juga ummat Hindu mengucapkan om swastiastu? Atau umat beragama lainnya dengan kalimat yang maknanya senada?”.

Kemudian Jusuf Kalla mengatakan bahwa mungkin puluhan bahkan ratusan kali kalimat 'salam dan doa' itu diucapkan oleh masing-masing pemeluk agama. Akan tetapi pertanyaannya adalah mengapa tindak kekerasan, pembunuhan, dan konflik dapat kita saksikan setiap harinya?

Di sini dapat kita tangkap, terdapat gap yang memisahkan antara apa yang kita katakan dan apa yang kita lakukan atau antara ilmu dan amal yang tak sejalan. Entah disebabkan karena kita tidak memahami esensi dari kalimat 'salam' itu atau memang kita pura-pura tidak tahu bahkan tak acuh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement