REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – Dalam beberapa bulan belakangan, sejumlah kawasan di tanah air seperti Jambi, Riau, hingga Kalimantan Tengah dilanda bencana kebakaran hutan. Senior Management Team (SMT) The Forest Trust (TFT), lembaga penginisiasi Center of Social Excellence (CSE), Agung Wiyono menilai alah satu penyebabnya yakni konflik lahan.
“Salah satu akar masalah kebakaran hutan setiap tahun, seperti yang banyak terjadi belakangan, adalah konflik lahan,” katanya dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id pada Selasa (8/8).
Ia mengatakan industri sumber daya alam (SDA) dan perkebunan rawan konflik. Sayangnya, di Indonesia masih sangat sedikit pihak ahli dan dapat mengatasi konflik tersebut.
Di Jambi misalnya ada lahan taman nasional yang ditinggali suku anak dalam. Sebagian lahan di area tersebut digusur untuk perkebunan kelapa sawit, sementara sebagian lagi masih dapat dihuni suku anak dalam dengan penghidupan dari kebun karet.
“Tapi yang kena kelapa sawit itu hanya mengandalkan kelapa sawit yang jatuh, dikumpulkan, lalu dijual. Ini apa yang harus dilakukan?” katanya.
Ia menilai sudah saatnya ada pelatihan yang focus untuk menemukan cara kerja sama yang lebih kreatif, inovatif, dan kontekstual dalam mengatasi konflik lahan. Center of Social Excellence (CSE) bersama Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, mengadakan pelatihan “Social Specialist dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang Bertanggung Jawab”.
Pelatihan yang digelar sejak 7-16 September 2015 diikuti 25 orang, yang diseleksi dari berbagai kelompok pemangku kepentingan. Sebut saja pegawai perusahaan PT. Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART), PT Sinar Mas Forestry (SMF), PT Asia Pulp and Paper (APP) ; pendamping masyarakat dari Cirebon, Padang, Papua, Gorontalo, dan Yogyakarta; akademisi dan peneliti.
Ketua Sekolah Pascasarjana UGM, Prof Suryo mengharapkan pelatihan tersebut dapat memberikan pengetahuan tentang berbagai kerangka kerja, pendekatan, prinsip, dan nilai dalam pengelolaan sumber daya alam yang bertanggung jawab.
“Peserta pelatihan diproyeksikan menjadi social specialist yang tahu bagaimana cara mengatasi konflik dalam pengelolaan SDA,” katanya.