REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan dalam kurun waktu 18 tahun terakhir wilayah Sumatera dan Kalimantan selalu terbakar setiap tahunnya.
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masif menyebabkan bencana asap. Wilayah langganan karhutla adalah Riau, Jambi, Sumsel, Kalbar, Kalteng dan Kalsel. Dampak yang ditimbulkan luar biasa. Bahkan kerugian dan kerusakan akibat karhutla lebih besar dibandingkan jenis bencana lainnya di Indonesia setiap tahunnya.
"Karhutla akibat pembiaran dan lemahnya penegakan hukum terkait pembakaran dilakukan untuk pembersihan lahan dan perluasan lahan," kata Sutopo, Sabtu (5/9).
Karhutla mempunyai korelasi positif dengan ilegal logging. Pembukaan lahan dengan membakar hanya butuh Rp 600 ribu Rp 800 ribu per hektar sedangkan tanpa bakar memerlukan biaya Rp 3,5 sampai Rp 5 juta per hektar.
"Apalagi saat kemarau, hanya perlu api saja karhutla akan tak terkendali," jelasnya.
Karhutla di Riau, khususnya di Cagar Biosfer Giam Siak Kecil, Taman Nasional Tesso Nelo dan lainnya sebagian besar dilakukan oleh para pendatang. Mereka bekerjasama dengan Batin (kepala adat) dan lurah dengan mengeluarkan surat keterangan tanah per dua hektar sesuai jumlah anggota koperasi.
Kunci utama mengatasi karhutla adalah penegakan hukum. Sudah banyak UU, peraturan, juknis dan lainnya yang mengatur larangan karhutla. Namun faktanya tetap dibakar.
Saat karhutla parah melanda Riau pada Mei-Juni 2013 dan Maret-April 2014, Satgas Nasional Penanganan Bencana Asap akibat karhutla yang dikomando BNPB, semua bisa diatasi dalam waktu 2-3 minggu. Ribuan TNI dan Polisi dikerahkan menduduki daerah-daerah yang sering dibakar. Patroli dan penegakan hukum diintesifkan. Hasilnya karhutla dipadamkan dan tidak berlanjut.