Rabu 02 Sep 2015 21:52 WIB

Memaknai Jabat Tangan Imam Nachrawi-La Nyalla

Mohammad Akbar
Foto: Republika
Mohammad Akbar

Oleh: Mohammad Akbar

Wartawan Republika Online

Ada harapan yang menggelembung tatkala melihat beredarnya foto salam komando yang dilakukan oleh Imam Nachrawi dan La Nyalla Mattalitti. Keduanya merupakan sosok kunci dari kisruh sepak bola yang terjadi di negeri ini. Keduanya juga sudah masuk ke dalam 'perang terbuka' yang mendorong keduanya nyaris tak pernah lagi memberikan keteduhan sikap di depan umum untuk segera menyelesaikan konflik sepak bola nasional.

Imam adalah Menteri Pemuda dan Olahraga yang telah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Pembekuan PSSI pada 18 April 2015. Lalu selang sepekan, giliran La Nyalla melalui kepanjangan tangannya di PT Liga Indonesia mengeluarkan instruksi menghentikan kompetisi di negeri ini. Inilah titik kulminasi dari kisruh yang pada akhirnya membuat Indonesia dijatuhkan sanksi oleh FIFA.

Saya secara pribadi tak terlalu mempersoalkan sanksi FIFA. Banyak dalih yang tersimpan. Satu diantaranya, saya yakini untuk membenahi benang yang sudah terlanjur kusut di dalam sepak bola nasional memang perlu diurai, diluruskan lalu ditata lagi agar bisa menjadi benang perekat yang kuat. Bukankah semangat awal berdirinya PSSI sekitar 85 tahun silam itu dilahirkan untuk menyemaikan nasionalisme dan wadah menentang penjajahan? Kini, PSSI dan pemerintah seperti sudah kian melenceng untuk membawa sepak bola negeri ini dari semangat awal yang pernah digagas oleh Soeratin Sosrosoegondo.

Seiring waktu bergulir, kisruh dua stakeholder -- PSSI dan Kemenpora -- justru semakin tak menentu. Ibarat bola liar, ia bergerak tanpa arah yang tak jelas. Fokus untuk membenahi masalah sepak bola justru lebih tenggelam di balik bumbu-bumbu sensasi. Tengoklah betapa kita pernah dibuat gaduh ketika muncul rekaman pengaturan skor dari bandar mafia bola.

Sekali lagi, kita ternyata lebih suka kegaduhan ketimbang membenahinya. Kedua pihak saling menuding dengan beragam argumen. Hingga kini tak ada kejelasan apakah sudah ada pihak yang sudah dicokok dalam praktek mafia bola tersebut. Bahkan sebuah media nasional sempat menyebut salah seorang sosok ternama di sepak bola nasional ini sebagai godfather judi bola di Indonesia.

Sekali lagi, Kemenpora melalui Tim Transisi juga tak bisa atau tak berani untuk mendesak Polri menindaklanjuti laporan tersebut. Bahkan dalam sebuah wawancara kepada Republika, Gatot S Dewa Broto yang saat itu masih menjabat Juru Bicara Kemenpora mengatakan tim transisi tidak bisa diandalkan untuk memberantas mafia bola. Ia beralasan sifat kerja tim transisi hanya sementara. Sedangkan untuk membongkar jaringan atau memutus mata rantai mafia itu butuh waktu yang sangat lama.

Menurut saya, akar dari persoalan kisruh sepak bola ini adalah keberanian untuk membongkar praktek mafia bola. Memang untuk membongkar skandal ini perlu nyali besar. Dan maaf, saya tak melihat Menpora bersama Tim Transisi memiliki nyali sangat besar untuk berani membongkar masalah ini. Entahlah apa yang menjadi penyebabnya. Biarlah Tuhan yang mengetahui alasan mereka.

Lalu di saat persoalan inti tak terselesaikan, kita semua justru terbuai dengan persoalan-persoalan yang sebenarnya hanya menjadi bumbu penyedap dari kisruh ini. Lalu ketika bumbu-bumbu itu sudah dimasak media maka yang tercium hanyalah aroma sensasi semata.

Sementara pemain, klub dan pihak-pihak yang selama ini mendapatkan rezeki dari bergulirnya kompetisi (pedagang, tukang sablon, suporter dan lain sebaginya) justru menjadi pihak yang paling dirugikan dari adanya kisruh PSSI vs Kemenpora.

Tak salah jika kemudian mantan pelatih nasional Rahmad Darmawan harus berteriak agar pertikaian ini segera dihentikan. Mengapa? Ibarat pepatah gajah bertarung sama gajah, pelanduk mati di tengah-tengah. Ketika dua orang pembesar olahraga di negeri ini yang bertarung maka yang sesungguhnya mati adalah orang-orang kecil yang ada di bawahnya, pihak-pihak yang selama ini menggantungkan nasibnya dari bergulirnya kompetisi.

Jadi ketika menyaksikan terjadinya jabat tangan Imam dan La Nyalla, sontak saja harapan saya membuncah agar para pihak yang selama ini bertikai supaya segera menuntaskan konfliknya. Marilah duduk bersama dengan membuang ego; siapa paling benar dan siapa yang bersalah! Marilah kita berkaca pada sikap heroik yang sudah diteladankan pejuang Aparteid Afrika Selatan, Nelson Mandela.

Nelson mampu memaafkan para pihak yang sudah lebih dari separuh hidupnya menindas dirinya secara fisik maupun moril. Saat Nelson berkuasa, Afrika Selatan dibawanya ke dalam rekonsiliasi untuk mencari kebenaran ketimbang harus mengedepankan pembalasan. Sekarang yang dibutuhkan untuk revolusi sepak bola di negeri ini adalah keberanian kita untuk membongkar mafia bola, bukan saling berebut ambil kuasa di PSSI.

Saya yakin ketika kita bernyali besar untuk membongkar praktek mafia bola maka dari sanalah kita dapat memulai untuk membangun kembali sepak bola di negeri ini. Seperti halnya Nelson Mandela, yang salah tentu saja harus dihukum tetapi juga perlu ada sikap kenegarawanan untuk berani mengakui kekeliruan yang sudah mereka diperbuat. Selintas, saran macam ini mungkin terdengar tak lazim di negeri ini. Tapi inilah yang harusnya dilakukan.

Jadi, semoga jabat tangan Imam-La Nyalla pada acara pembukaan Piala Presiden bisa menjadi langkah awal untuk segera menuntaskan konflik. Mari kita benahi sepak bola, bukan malah membuat runyam sepak bola di negeri ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement