Ahad 30 Aug 2015 15:24 WIB

Isolasi Bukan Solusi

Rep: C34/ Red: Julkifli Marbun
AIDS
AIDS

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Siang itu, ruangan di kantor Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Bogor tampak riuh. Sejumlah ibu muda saling bersenda gurau, berbincang, dan tertawa.

Siapa menyangka, terendap lara di balik sumringah wajah mereka. Sebagian ibu muda di ruangan tersebut adalah orang dengan HIV/AIDS (ODHA).

Renata (bukan nama sebenarnya), mengetahui dirinya positif HIV sejak 2011 silam. Kepada Republika ia berkisah, semua bermula ketika suaminya tiba-tiba mengidap sakit keras.

"Saya bingung, ini sakitnya kenapa. Pas di RS diberi tahu kalau suami positif (HIV, Red.) dan sudah parah," tuturnya.

Padahal, kala itu Renata tengah menikmati madu bahtera pernikahan yang baru berumur 1,5 tahun. Dokter meminta Renata untuk melakukan tes, dan ia juga terdeteksi positif.

Kontan perempuan 30 tahun itu merasa sangat terguncang. Apalagi, selang enam bulan kemudian suami Renata meninggal dunia.

"Kagetnya sampai nggak bisa berkata-kata. Sudah nggak bisa nangis lagi," kata Renata.

Ia bercerita, sebelum menikah suaminya mengakui diri sebagai mantan pencandu narkoba. Namun, suami Renata tak berterus-terang sepenuhnya dan menyembunyikan fakta bahwa ia mengonsumsi narkoba dengan memakai jarum suntik.

Kepergian suami dan status positif HIV sempat membuat Renata terpuruk. Mulanya, ia tidak bisa menerima takdir yang ditanggungnya.

Terlebih, masyarakat masih melekati ODHA dengan label buruk. Renata merasa menjadi korban.

"Saya ini nggak bandel, nggak minum, nggak narkoba, di rumah hanya melayani suami. Apa salah saya, apa dosa saya?" kata ibu berjilbab itu menahan jatuhnya air mata.

Ia bersyukur, kondisi mentalnya berangsur membaik karena dukungan orang tua dan sejumlah kawan. Renata juga kini aktif di Sahabat Anak, Ibu, dan Remaja (SAHIRA), kelompok pendampingan ODHA yang berafiliasi dengan KPA Kota Bogor.

Renata merasa mendapat kekuatan baru karena berjumpa dengan ibu muda lain yang bernasib sama. Berbagi duka membuatnya tak lagi merasa sendirian.

Melalui kegiatan-kegiatan yang ada, Renata bahkan menemukan tambatan hati dan menikah lagi dengan ODHA lain pada tahun 2014. Keduanya berharap bisa mempunyai momongan, meski masih dihantui ketakutan bahwa kondisi mereka menurun pada anak.

"Kata dokter, anak dari pasangan ODHA bisa negatif HIV. Tapi rasa ketakutan masih ada, takut kenapa-kenapa, jadi semuanya serahin saja ke Sang Maha Pencipta," ujar Renata.

Kini, ia mengaku bisa menjalani hidup selayaknya orang normal. Hanya saja, Renata harus lebih cermat mengatur pola hidup sehat dan mengonsumsi obat terapi anti-retroviral setiap pukul delapan pagi dan delapan malam, seumur hidupnya.

Siti Suginati, pendiri SAHIRA, mengungkapkan bahwa konflik batin para ibu rumah tangga ODHA telah mengusik nuraninya. Maka, ia terdorong membentuk kelompok pendampingan yang mulai aktif sejak akhir tahun 2012.

Perempuan 34 tahun yang akrab disapa Gina itu mulanya adalah aktivis penjangkau di LSM Yakita. Selama bertugas, ia mendapati kompleksitas masalah ketika ibu rumah tangga diketahui terinfeksi HIV.

Ia miris karena mayoritas ibu muda usia 21-40 tahun yang mengetahui dirinya terinfeksi HIV segera down. Apalagi, banyak hal terdampak; seperti masalah sosial, ekonomi, dan kesehatan.

"Di situ saya berpikir bagaimana cara memberikan dukungan psiko-sosial pada mereka. Jangan karena kena HIV, hidupnya jadi berakhir," kata ibu tiga anak itu.

Menurut Gina, isolasi ODHA bukanlah solusi. Justru, ibu muda pengidap HIV harus terlibat di masyarakat, produktif, dan berdaya secara ekonomi.

Karena itu, Gina melalui SAHIRA menggagas berbagai kegiatan. Di antaranya, produksi pembuatan telur asin dengan bantuan modal awal dari KPA Kota Bogor, membuat kue kering, serta pengajaran keterampilan lain.

"Untuk telur asin, sekali produksi 300 butir, sudah 12 kali panen. Bukan untung yang dicari, tapi agar teman-teman punya jiwa usaha," papar Gina.

Selain kegiatan untuk ibu muda, secara berkala Gina juga menggagas kegiatan gathering dan permainan untuk menghibur anak-anak pengidap ODHA.

Gina berharap, masyarakat tidak perlu takut berlebih dan memberikan stigma kepada para ODHA. Tiap ODHA yang memiliki cerita masing-masing itu justru harus disemangati dan dimotivasi.

"Pengidap HIV yang harusnya takut sama orang biasa. Kalau tertular pilek sedikit saja, ODHA bisa segera drop," urainya.

Tak hanya SAHIRA, LSM Lembaga Kajian Strategis (Lekas), LSM PEKA, dan Yayasan Pendidikan Rumah Sahabat juga aktif berafiliasi dengan KPA Kota Bogor. Iwan Suryawan, Sekretaris KPA Kota Bogor, menginformasikan pula pembentukan home base care dan Warga Peduli AIDS (WPA) di 68 kelurahan Kota Bogor.

"Peran masyarakat sangat penting sebagai ujung tombak pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Kota Bogor," ungkap Iwan.

Data KPA Kota Bogor mencatat, terdapat 2.403 kasus kumulatif HIV sejak 2005 hingga November 2014. Rentang usia di bawah 4 tahun sebanyak 58 kasus, usia 5-14 tahun sebanyak 63 kasus, usia 15-19 tahun sebanyak 187 kasus, usia 20-24 tahun sebanyak 392 kasus, usia 25-49 tahun sebanyak 1.674 kasus, dan di atas usia 50 tahun sebanyak 29 kasus.

Iwan mengatakan, masyarakat perlu mendapat pengetahuan jelas mengenai HIV/AIDS, yang terus disosialisasikan KPA dan rekan. Sindrom akibat rusaknya sistem kekebalan tubuh (Acquired Immune Deficiency Syndrome atau AIDS) itu disebabkan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), dan tak menular melalui medium lain selain darah, sperma, cairan vagina, dan air susu ibu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement