Ahad 30 Aug 2015 08:53 WIB

Hubungan 'Haram' Pilkada dengan Kebakaran Hutan

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Ilham
Petugas mencoba memadamkan api ketika terjadi kebakaran hutan jati di Desa Balapulang, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Rabu (29/7).
Foto: Antara/Oky Lukmanyah
Petugas mencoba memadamkan api ketika terjadi kebakaran hutan jati di Desa Balapulang, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Rabu (29/7).

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Sebagian besar kasus kebakaran hutan dan lahan di Indonesia saat ini secara sistematis terkait dengan kepentingan ekonomi politik dari aktor tertentu dan jaringannya, seperti menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Ini berdasarkan serangkaian penelitian yang dilakukan Center for International Forestry Research (CIFOR).

"Siklus pembakaran hutan sering kali sejalan dengan Pilkada. Menjelang Pilkada serentak tahun ini, pembakaran hutan akan meluas," kata ilmuwan CIFOR, Hery Purnomo dalam sebuah diskusi di Bogor, Sabtu (29/8).

CIFOR melakukan penelitian selama berbulan-bulan pada 10 lokasi di empat kabupaten di Indonesia. Para peneliti mengamati praktik pembakaran atau kejadian kebakaran hutan dan lahan di lapangan. Hery menemukan bahwa selalu ada motivasi dari aktor-aktor pembakar hutan.

"Sejumlah kepala daerah atau calon kepala daerah menjadikan bagi-bagi lahan sebagai insentif untuk menarik perhatian pemilih. Banyak kepentingan politik di dalamnya," kata Hery.

Guru Besar IPB ini juga mengatakan, para elite lokal ini bekerja secara individual kemudian membentuk satu jaringan. Urutannya dimulai dari seorang pengklaim lahan yang berhubungan dengan kepala desa untuk mengeluarkan surat keterangan tanah. Setelah surat keluar, lahan ditebas kemudian dibakar, biasanya melibatkan masyarakat lokal.

Pihak yang diuntungkan adalah ketua kelompok tani, ketua partai politik, anggota parlemen, anggota kepolisian, hingga tentara. Mereka mendapat keuntungan dari proses pembakaran hutan tersebut.

"90 persen lebih hutan terbakar karena manusia dan dilakukan dengan sengaja. Tidak ada hutan yang tiba-tiba terbakar dengan sendirinya," kata Hery.

Penelitian CIFOR menunjukkan, rata-rata si pengklaim lahan menaikkan harga jual lahannya tiga juta rupiah per hektar. Lahan yang diklaim kemudian ditebas dan dibakar. Setelah rata, harganya dinaikkan dari delapan juta menjadi Rp 10-11 juta per haktar.

Lahan yang sudah rata selanjutnya ditanami dengan kelapa sawit. Ketika emas hijau ini tumbuh setelah empat tahun, kata Hery, lahan yang semula hanya beharga Rp 10-11 juta bisa dijual kembali minimal Rp 40 juta.

Pemerintah daerah (Pemda) yang sedang berkuasa pun, kata akademisi Fakultas Kehutanan IPB ini, enggan menindak pelaku dan mencegah kebakaran hutan. Alasannya, sang pelaku adalah rekanan mereka sendiri. Akhirnya, daerah hanya melakukan tindakan kuratif setelah kebakaran terjadi, yaitu hujan buatan dan sekat kanal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement