REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran yang terjadi saat ini bisa mendorong tenaga kerja lokal mencari kerja di negeri orang. PHK massal, upah murah di dalam negeri, dan outsourcing dinilai menjadi faktor migrasinya tenaga kerja.
"Ini fenomena lama," ucap Direktur Eksekutif Migrant Care Anies Hidayah kepada ROL, Jumat (28/8).
Kondisi tersebut jelas merugikan buruh mengingat kebijakan perburuhan di dalam negeri belum berpihak pada mereka. "Sehingga mereka bekerja ke luar negeri karena terpaksa, bukan karena pilihan," kata dia.
Pemerintah didesak untuk segera memperbaiki kebijakan perburuhan dalam negeri dan melindungi Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Menurut Anis, caranya bisa dengan menghapus outsourcing, menaikkan upah buruh, dan menjamin hak-hak lain seperti kesehatan, jaminan hari tua, dan hak-hak untuk pekerja perempuan seperti memberikan cuti haid, cuti melahirkan, serta jangan sampai ada diskriminasi dalam pengupahan.
Sedangkan untuk buruh migran, kata Anis, perlu adanya keseriusan pemerintah untuk mengadvokasi buruh migran. Selama ini pemerintah dinilai belum berbuat banyak untuk perlindungan buruh migran. Terbukti hingga kini buruh migran masih dirundung beberapa problem.
Di Taiwan misalnya, permasalahan TKI yang kabur (run away workers) masih cukup tinggi dan menjadi masalah tersendiri. Dalam peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Taiwan, apabila TKI selama tiga hari berturut-turut meninggalkan pekerjaannya keluar dari rumah majikan tanpa pemberitahuan maka akan kehilangan hak-haknya.
Pekerja illegal sangat riskan dari sisi perlindungan dan majikan dapat menjebak TKI dengan memanggil polisi untuk ditangkap sewaktu-waktu bila terjadi perselisihan. "TKI yang kabur akan kehilangan hak-haknya seperti gaji, uang lembur, tiket pulang, asuransi kesehatan dan kematian sehingga ini sangat merugikan TKI," kata Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri.