REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Akhmad Akbar Susamto menilai alokasi anggaran bagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) belum optimal dan perlu ditingkatkan untuk mendukung pelaksanaan program lembaga tersebut.
"Di APBN-P 2015 alokasi anggaran penerima bantuan iuran BPJS hanya sebesar Rp20,3 triliun," ujar staf pengajar di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Selasa (25/8).
Lebih lanjut dia menjelaskan angka tersebut didasarkan pada cakupan penduduk miskin yang mencapai 88,2 juta jiwa dengan nilai bantuan hanya Rp19.225/orang setiap tahunnya.
Selain itu anggaran untuk Kementerian Kesehatan pada tahun yang sama hanya Rp51,3 triliun atau 2,6 persen dari belanja APBN-P yang mencapai Rp1.984 triliun.
Dari kurangnya alokasi anggaran tersebut, ujarnya, berdampak pada rendahnya pengembangan infrastruktur dan terbatasnya kualitas layanan kesehatan.
Dia mencontohkan, dari 109 rumah sakit milik pemerintah daerah provinsi, baru 20 yang ditetapkan sebagai rumah sakit rujukan karena faktor kesenjangan fasilitas dan ketersediaan tenaga medis dan paramedis antara satu rumah sakit dengan lainnya.
"Akibatnya, tidak jarang pasien rujuk harus menempuh jarak yang cukup jauh untuk mendapatkan layanan kesehatan yang dibutuhkan. Sementara, rumah sakit yang menjadi rujukan bebannya semakin besar," katanya.
Berdasarkan data WHO (organisasi kesehatan dunia), pada tahun 2012 belanja kesehatan pemerintah Indonesia sebesar 39,6 persen dari total biaya kesehatan yang dikeluarkan pada periode yang sama.
Angka tersebut lebih lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara di Asia seperti Malaysia sebesar 55,2%, Thailand 79,5 persen, dan Cina (56 persen).