REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Demi mempertegas praktek hukuman bagi perusak hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah membentuk Direktorat Jenderal Penegakan Hukum. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, mengungkapkan kalau penegakan hukum dalam melestarikan hutan, memang harus dibuatkan payung hukum yang tepat, agar penindakan yang dilakukan juga tepat.
Sayangnya, ia menilai kalau penegakan hukum tentang pelanggaran undang-undang atau pengrusakan lingkungan hidup, masih sangat lemah di Indonesia. Siti mengakui kalau peraturan perundang-undangan yang ada, hanya memberikan hukuman penjara dan denda yang tidak terlalu berat.
Ia menyebut UU nomor lima tahun 1990 tentang Kenaekaragaman Hayati, hanya memberikan hukuman penjara maksimal selama lima tahun penjara. Sedangkan, denda yang dikenakan kepada pelaku juga sangat rendah, yaitu hanya sebesar Rp 100 juta.
Oleh karena itu, Siti menerangkan jika undang-undang selanjutnya yang mengatur tentang pencegahan atau pengrusakan hutan, dan bisa dikenakan pada pelaku perusakan hutan sudah cukup kejam. Siti menjelaskan kalau undang-undang tersebut adalah UU nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara.
Namun seperti yang sudah ia katakan di awal, yang harus diperketak dan ditegaskan adalah dari sisi penegakan hukumnya. Maka itu, Menteri Susi menuturkan kalau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sudah membuat satu bagian khusus, yang tugasnya memang akan melakukan pengawasan dalam penegakan hukum, atas perusakan lingkungan hidup, yaitu Direktorat Jenderal Penegakan Hukum.
"Ada direktorat jenderal penegakan hukum yang sekarang sudah mulai diintensifkan," kata Siti Nurbaya.
Terkait kebakaran hutan yang masih terjadi, Siti menerangkan kalau titik panas per hari sampai dengan Januari lalu, hanya sebesar 6.400 titik di seluruh Indonesia. Menurutnya, jumlah sebaran titik panas tersebut sudah berkurang cukup banyak dibandingkan tahun lalu, yang mencapai 13.600 titik panas, atau hanya sekitar 40 persen dari jumlah titik panas tahun lalu di seluruh Indonesia.