REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan, pada level kultur dan realitas di masyarakat, beberapa masalah anak disebabkan banyaknya nilai hidup di masyarakat masih membenarkan dan melestarikan kekerasan dan diskriminasi terhadap anak. Selain itu belum memberikan ruang bagi partisipasi anak.
"Diskriminasi kepada anak yang berkebutuhan khusus dan anak-anak minoritas dianggap hal wajar. Kekerasan dipandang sebagai hal yang lazim dilakukan dalam rangka mendidik anak," kata Susanto, Rabu (12/8).
Eksploitasi ekonomi dan seksual dianggap hal yang boleh dilakukan orang tua atas nama kewajiban anak untuk berbakti kepada orang tua. Keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan pergaulan secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi anak untuk melakukan tindak kekerasan dan perbuatan tidak terpuji lainnya.
Informasi tidak ramah anak yang mudah dan bebas diakses di mana-mana. Masyarakat juga permisif terhadap pelanggaran hak anak yang terjadi di sekelilingnya.
"Rangkaian pesta politik pilkada juga seringkali tak absen dari pelibatan anak dalam politik yang berdampak negatif bagi anak. Pendek kata, hak-hak anak belum sepenuhnya dipahami oleh semua orang dewasa, keluarga, dan masyarakat Indonesia," kata Susanto.
Hal ini mengakibatkan tumbuh kembang anak menjadi terganggu. Dalam konteks perlindungan anak, ketiga level masalah tersebut tidaklah berdiri sendiri, melainkan terkait satu sama lain dan saling mempengaruhi.
Pilkada serentak yang dimulai tahun 2015 sejatinya merupakan momentum besar dan secara radikal dapat dijadikan political assurance untuk penguatan penyelenggaraan perlindungan anak di daerah. Harapannya, perlindungan anak dapat ditempatkan sebagai sebuah sistem pembangunan daerah, yang meniscayakan pendekatan komprehensif, terpadu antar SKPD dan lembaga daerah. Sehingga pembangunan daerah sarat dengan kordinasi, sinergi dan intervensi yang tepat, terukur dan berorientasi pada kepentingan terbaik anak.