REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri mengatakan proses revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2015 tentang Jaminan Hari Tua (JHT) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan terus dikerjakan. Target revisi PP ini akan sesegera mungkin diselesaikan.
Proses revisi terus dilakukan dengan melibatkan lintas kementerian dan instansi terkait. "Kita dorong agar selesai sesegera mungkin," kata Menaker M Hanif Dhakiri di Jakarta pada Selasa (11/8).
Hanif mengatakan tidak ada kesalahan yang menyebabkan program JHT harus direvisi. "Alasan revisi ini lebih karena konstruksi dari sistem jaminan sosial yang ideal belum sinkron dengan realitas ketenagakerjaan di lapangan," ucapnya. Terutama terkait dengan kepastian status kerja dan sistem pesangon saat terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).
Ada ketentuan dalam PP Nomor 46 Tahun 2015 tentang JHT BPJS Ketenagakerjaan yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Di lapangan sering dijumpai karyawan baru mendapakan pesangon setelah tiga atau empat bulan usai PHK, bahkan penerimaan pesangon tidak utuh.
"Untuk yang PHK memang sudah ada yang menerapkan sistem perlindungan melalui pesangon, tapi memang kenyataan di lapangan hal tersebut terkadang belum tidak berjalan dengan baik," kata Hanif.
Pemerintah akan menekankan agar PP tersebut nantinya dapat memberikan pengecualian kepada para pekerja yang terkena PHK. Hal ini dimaksudkan agar mereka bisa mencairkan tabungan JHT sesegera mungkin paling lambat satu bulan setelah keluar dari perusahaan tempat mereka bekerja.
Aturan tersebut berlaku bagi kepesertaan yang sudah memasuki masa lima tahun dan terkena PHK sebelum 1 Juli 2015. "Untuk para pekerja yang di PHK sebelum 1 Juli 2015 tetap bisa melakukan pencairan JHT-nya sekarang, asal pekerja itu terdaftar pada program BPJS Ketenagakerjaan sesuai dengan aturan yang ada," ucapnya.