REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bendahara Muhammadiyah sekaligus dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hhidayatullah, Anwar Abbas menilai, perlu ada kode etik dalam rancangan pasal undang-undang (UU) Penghinaan Presiden. Menurut dia, ajaran Islam melarang manusia untuk menghina dan mencaci hanya saja kritik tetap dilakukan.
Selain itu, dilarang pula memberikan predikat atau panggilan kepada orang lain dengan predikat dan panggilan yang tidak disukai yang bersangkutan. Dalam Islam, menurut dia, dianjurkan untuk menjauhi purbasangka atau kecurigaan kepada orang lain dan mencari-cari keburukan dan kesalahan orang lain, apalagi presiden.
"Untuk itu saya melihat perlu adanya kode etik dalam pergaulan supaya hidup ini aman tentram dan baik, karena tidak ada orang yang mau dihina, direndahkan dan dijatuhkan martabatnya," katanya saat dihubungi ROL, Senin (10/8).
Untuk itu, Anwar menjelaskan, agar kode etik tersebut tidak disalah tafsirkan dan disalah gunakan, maka rumusan dan penjelasan dari tindak tidak terpuji tersebut harus jelas serta tidak bisa ditarik-tarik ke sana kemari.
"Karena itu, penjelasannya harus bisa membedakan dan dibedakan dengan kritik yang konstruktif dan lain lain. Istilah yang sepadan dengan hal yang terakhir ini," ujar Anwar.
Sebab, kata dia, kalau itu tidak dilakukan maka dikhawatirkan rumusan-rumusan yang ada akan dipergunakan untuk membungkam hal-hal yang sebenarnya positif untuk kepentingan bangsa. Tetapi lantaran bertentangan dengan keinginan sang penguasa, maka mereka dijerat dengan pasal-pasal yg ada. "Ini tentu tidak positif bagi kehidupan bangsa," katanya.