Kamis 06 Aug 2015 23:50 WIB

Soal Pasal Penghinaan Presiden, Jangan Khianati Reformasi

 Presiden Joko Widodo memberi hormat ketika lagu Indonesia Raya berkumandang saat Pelantikan Komisi Kejaksaan di Istana Negara, Jakarta, Kamis (6/8).
Foto: Antara/Widodo S. Jusuf
Presiden Joko Widodo memberi hormat ketika lagu Indonesia Raya berkumandang saat Pelantikan Komisi Kejaksaan di Istana Negara, Jakarta, Kamis (6/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana pemerintah untuk memasukkan kembali pasal penghinaan presiden yang pernah dibatalkan MK pada tahun 2006 merupakan bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi.

"Kita tahu perjuangan mahasiswa sejak era 1970-an sampai 1998 melawan tirani Orde Baru, salah satu yang ditentang keras adalah absolutisme kekuasaan presiden," kata Sekjen Ikapol Edward Panggabean dalam siaran persnya, Jakarta, Kamis (6/8).

Lanjut Edward, hal itu terlihat dari begitu kuatnya rejim, sehingga sangat anti-kritik dari luar. Setelah Orde Baru tumbang, perlahan terjadi rasionalitas publik dalam melihat kekuasaan.

"Lembaga kepresidenan tak lagi dianggap menakutkan seperti dulu, dan publik bisa memberikan masukan, dari yang sifatnya kritik biasa sampai tekanan politik," ucapnya.

Sementara Ketua Bidang Politik Ikapol IISIP, Zaenal A Budiyono, menambahkan bahwa sejalan dengan prinsip demokrasi yaitu check and balances. Yang menjadi penyeimbang kekuasaan bukan hanya legislatif dan partai politik, melainkan juga organisasi masyarakat, bahkan individu.

"Sebuah 'Kemewahan' ini sudah kita nikmati tujuh belas tahun sejak reformasi. Bahwa terkadang ada kritik dan masukan yang terlalu keras sehingga membuat telinga kekuasaan panas, itu adalah bagian dari dinamika politik menuju konsolidasi demokrasi," ucap Zainal.

Kata dia, dengan berjalannya waktu, kegaduhan berlebih akan tertata seiring dengan pelaksanaan demokrasi yang makin berkualitas. Di AS dan Eropa, demokrasi berjalan bebas hampir 100 persen, tapi rakyat di sana tidak menunjukkan kegaduhan yang tak perlu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement