REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Mantan Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi menyatakan saat ini PBNU vakum dari kepemimpinan, bahkan kekosongan pemimpin ini akan terjadi sampai digelar kembali muktamar untuk memilih calon ketua umum yang legal.
"Saya tegaskan sekali lagi bahwa PBNU sekarang ini vakum, organisasinya memang ada, tapi pemimpinnya tidak ada sampai ada muktamar lagi," tegas Hasyim Muzadi kepada wartawan di kediamannya Kompleks Ponpes Al-Hikam Malang, Jawa Timur, Kamis (6/8).
Menurut Hasyim, wilayah dan cabang memiliki hak hukum dan hak memilih untuk menggelar kembali muktamar karena muktamar yang digelar di Jombang dan baru usai itu tidak sesuai aturan, prosedur serta tidak tertib, bahkan bisa dikatakan cacat hukum. Sebab, esensinya prosedur organisasi tidak dilalui secara normal.
Oleh karena itu, tegasnya, selama vakum kepemimpinan tidak ada tokoh atau siapa pun bisa mengatasnamakan PBNU sampai digelar muktamar ulang yang konstitusional. Pengurus wilayah atau di bawahnya tidak perlu khawatir akan terjadi pembekuan maupun "reshuffle" pengurus wilayah karena saat ini PBNU-nya sendiri vakum.
Hasyim mengaku bahwa dirinya juga tidak bersedia untuk dicalonkan sebagai Rais Aam dari forum yang diikuti 29 wilayah yang sebenarnya memenuhi kuorum di Ponpes Tebuireng.
"Kalau saya terima pencalonan itu, NU akan pecah. Begitu juga ketika saya menerima pencalonan dari forum yang digelar di alun-alun karena statusnya cacat hukum, apakah bisa diterima akal jika dua forum mengaku semua kuorum, ini bagaimana," kata pengasuh Ponpes mahasiswa Al-Hikam tersebut.
Meski ada 29 PWNU yang keluar dari Muktamar di alun-alun Jombang dan bergabung ke kubu Salahuddin Wahid di Tebuireng, Hasyim Muzadi membantah bahwa NU pecah, sebab tidak ada muktamar tandingan atau NU tandingan.
Yang terjadi, kata Hasyim, adalah gerakan pemurnian NU dari penyusupan ideologi atau aliran pemikiran yang merusak keimanan dan perilaku avonturir para politisi.
"Gerakan pemurnian ini akan menjadi arus besar di dalam NU karena seluruh wilayah dan cabang menyaksikan sendiri bagaimana selama proses muktamar. Muktamirin diperlakukan semena-mena mulai dari sulitnya pendaftaran, rekayasa persidangan, dan perlakuan kasar terhadap para ulama dan kiai. Hikmahnya adalah semua warga NU bisa mengetahui betapa bahayanya penyusupan yang dilakukan secara komprehensif," tegasnya.