REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hukum Tata Negara, Irman Putra Siddin menyatakan tak sepakat jika pasal penghinaan presiden masuk ke RUU KUHP yang baru. Alasannya karena konten serupa sudah pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
"Jadi pasal itu kan sudah pernah dibatalkan MK. Kalau dihidupkan lagi berarti artinya melanggar konstitusi," ujarnya Kamis (6/8).
Dia menambahkan jika tetap dipaksakan untuk dihidupkan kembali, resikonya yakni MK akan kembali membatalkannya. Lebih lanjut, ungkap dia, upaya penghidupan pasal penghinaan presiden di RUU KUHP dapat menimbulkan instabilitas politik.
Sebab nantinya DPR bisa saja menggunakan hak angket atau hak interpelasinya pada presiden. Ini akan membuat politik menjadi gaduh kembali. Sebelumnya Ketua Bidang Hukum HAM dan Perundang Undangan DPP PDIP, Trimedya Pandjaitan mengatakan harus ada jalan tengah menyelesaikan persoalan pasal penghinaan pada presiden.
Di mana pasal ini sudah dibatalkan oleh MK, namun presiden selaku kepala negara harus dilindungi dari ancaman penghinaan. Namun hingga kini konsep itu masih dalam proses pembahasan terkait bentuknnya nanti seperti apa.