Kamis 06 Aug 2015 16:11 WIB
Pasal Penghinaan Presiden

Pasal Penghinaan Presiden Dinilai Mendurhakai Pendiri Bangsa

Rep: C07/ Red: Ilham
Sejarawan JJ Rizal
Foto: Facebook/JJ Rizal
Sejarawan JJ Rizal

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarawan JJ Rizal menegaskan apabila Presiden Joko Widodo menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden berarti menjadi kemunduran dari cita-cita bangsa.

"Sama saja mendurhakai pendiri bangsa, apalagi betulan ingin dikembalikan dalam KUHP," ujar Rizal saat dihubungi Republika Online, Kamis (6/8).

Perlu diketahui, KUHP yang selama ini digunakan pemerintah Republik Indonesia merupakan warisan era kolonial Belanda, yaitu Wetboek van Strafrecht (WvS) 1915 Nomor 732. WvS Belanda tersebut diberlakukan di Indonesia berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 RI tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Undang-Undang Hukum Pidana.

Menurut JJ, kala itu pasal penghinaan digunakan untuk melindungi pemerintah kolonial Hindia Belanda dari kritikan atau serangan para pejuang kemerdekaan.

Pada rezim orde baru sampai reformasi, pasal tersebut kerap digunakan pemerintah untuk membungkam para aktivis atau lawan politik yang memberikan kritikan tajam. Penjeratan pasal penghinaan presiden pun berhenti saat Mahkamah Konstitusi (MK)  pada (6/12/2006) memutuskan delik atau tindak pidana penghinaan terhadap kepala negara, yaitu Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP bertentangan dengan konstitusi sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pemerintah Joko Widodo menginginkan pasal penghinaan terhadap presiden masuk ke dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Padahal, pasal penghinaan terhadap presiden telah dicabut dengan putusan MK pada 2006.

Presiden Joko Widodo mengaku pasal penghinaan presiden dihidupkan kembali semata untuk melindungi para pengkritiknya dari pasal-pasal karet. Bukan sebagai bentuk antikritik.

Jokowi, secara peribadi, mengaku tak memerlukan pasal yang sudah digugurkan MK itu. Lagi pula ia sudah terbiasa dihina sejak menjabat Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta hingga menjabat Kepala Negara. Namun, kemarin Jokowi kembali menegaskan untuk tetap mengajukan pasal tersebut kepada DPR.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement