Rabu 05 Aug 2015 21:21 WIB
Pasal Penghinaan Presiden

Penghidupan Kembali Pasal Penghinaan Presiden Dinilai Aneh

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Ilham
Presiden Jokowi beri arahan peserta rapimnas TNI-Polri
Foto: antara
Presiden Jokowi beri arahan peserta rapimnas TNI-Polri

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Langkah pemerintah mengusulkan pasal penghinaan Presiden dalam revisi rancangan KUHP dianggap cukup aneh. Pasalnya, Presiden Joko Widodo dikenal rakyat sebagai pemimpin yang pro rakyat.

“Kalau pro rakyat artinya pro demokrasi dan tentu saja pro HAM,” ucap pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Bengkulu, H. Juanda kepada ROL, Rabu (5/8).

Juanda tidak tahu persis apakah ini berasal dari pikiran Jokowi sendiri atau orang-orang terdekatnya. Namun, pemerintah hendaknya sudah mengetahui ketentuan peraturan hukum tata negara. “Artinya ketika beliau tahu atau tidak, khalayak menganggapnya tahu,” kata dia.

 

Kritik yang mengarah ke penghinaan presiden hendaknya disikapi dengan bijak. Dia berpikir ini adalah pikiran yang tidak tepat dalam konteks membangun negara demokrasi. Seharusnya, pemerintah mencari jalan lain untuk mengantisipasi penghinaan pada presiden.

Untuk itu, peran aparatur negara sangat dibutuhkan untuk memberikan pemahaman bahwa kedudukan presiden sangat penting, yakni sebagai simbol negara. “Makanya tidak boleh semudah itu melakukan perbuatan yang mengarah ke penghinaan,” ujar Juanda. Namun saat itu terjadi, masih ada peraturan perundang-undangan lain yang bisa menjeratnya, misalnya lewat pasal penghinaan nama baik.

Ia khawatir jika rencana ini dikabulkan, orang-orang yang sudah mendapat putusan atas sengketa konstitusinya akan kembali lagi ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengajukan banding.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement