Rabu 05 Aug 2015 17:47 WIB

Pasal Penghinaan Presiden Berisiko Konstitusional

Rep: C07/ Red: Ilham
Meme Presiden Jokowi soal tempat lahir Bung Karno.
Foto: Twitter
Meme Presiden Jokowi soal tempat lahir Bung Karno.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hukum Tata Negara, M. Nasef mengatakan, dalam perspektif ketatanegaraan, rencana positivisasi pasal penghinaan presiden punya resiko konstitusional.

"Pertama, materi pasal penghinaan presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 264 RUU KUHP itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Pasal 134, 136, dan 137 KUHP," kata Nasef saat dihubungi, Rabu (5/8). Sayangnya, sejumlah pasal itu telah dibatalkan MK melalui putusan No. 013-022/PUU-IV/2006.

Oleh karena itu, sambung Nasef, rencana dihidupkannya kembali pasal penghinaan presiden bisa dianggap sebagai constitutional disobedience.

Kedua, lanjut Nasef, materi pasal penghinaan tersebut bisa menjadi 'bumerang' bagi pelaksanaan hak-hak konstitusional warga negara. Terutama hak mengeluarkan pendapat dan hak berekspresi. Sebab tidak ada batasan definisi yang jelas soal 'penghinaan', dan karena itu pasal tersebut sering disebut pasal karet.

"Sejarah ketatanegaraan kita, khususnya pada masa orde baru telah menunjukkan betapa berbahayanya elastisitas pasal tersebut bagi keberlangsungan hak dan kebebasan berekspresi warga negara," ujar Nasef.

Ketiga, pasal tersebut berpotensi merusak iklim demokrasi yang sedang dikonsolidasikan. "Nalar kritis bangsa sebagai bagian dari dinamika berdemokrasi bisa terganggu kalau pasal itu benar-benar dipositifkan," ucapnya.

Namun demikian, bukan berarti segala bentuk penghinaan terhadap presiden diperbolehkan. Sebagai seorang pemimpin negara, presiden harus tetap dijunjung tinggi. "Saya kira instrumen perundang-undangan telah mengatur soal itu, sehingga bukan berarti ketika pasal penghinaan presiden tidak dimasukkan dalam RUU KUHP, berbagai bentuk penghinaan presiden tidak bisa diproses secara hukum," tuntasnya.

Pemerintah menginginkan pasal penghinaan terhadap presiden masuk ke dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) setelah sebelumnya pasal penghinaan terhadap presiden telah dicabut dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006, silam.

Presiden Joko Widodo mengaku pasal penghinaan presiden dihidupkan kembali semata untuk melindungi para pengkritiknya dari pasal-pasal karet. Bukan sebagai bentuk antikritik.

Jokowi, secara peribadi mengaku tak memerlukan pasal yang sudah digugurkan MK itu. Lagi pula, ia sudah terbiasa dihina sejak menjabat Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta hingga menjabat Kepala Negara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement