Rabu 05 Aug 2015 16:54 WIB

Menkumham: Meme Termasuk Penghinaan Presiden

Rep: C01/ Red: Bayu Hermawan
Yasonna Laoly (kiri) berbincang dengan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto (kanan) usai penyerahan susunan kepengurusan DPP PDI Perjuangan kepada di Gedung Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Rabu (6/5). (Republika/Agung Supriyanto)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Yasonna Laoly (kiri) berbincang dengan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto (kanan) usai penyerahan susunan kepengurusan DPP PDI Perjuangan kepada di Gedung Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Rabu (6/5). (Republika/Agung Supriyanto)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly menegaskan pasal penghinaan presiden yang diusulkan masuk dalam RUU KUHP, berbeda dengan yang pernah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Yasonna mengatakan dalam pasal penghinaan presiden yang kini diusulkan, kritik tidak termasuk bentuk penghinaan. Sebab menurutnya pemerintah justru membutuhkan kritik yang membangun untuk menjadikan pemerintah lebih baik lagi, sehingga pemerintahan Jokowu-JK tetap terbuka dan membutuhkan kritikan.

Yang dimaksudkan penghinaan dalam pasal tersebut, lanjut Yasonna, ialah penghinaan yang dilayangkan kepada pribadi atau individu.

"Penghinaan itu seperti penghinaan pribadi, termasuk meme-meme di medsos," kata Yasonna saat ditemui di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) di, Sukamiskin, pada Rabu (5/8).

Ia menjelaskan, pasal penghinaan tidak bersifat sebagaimana delik umum yang tanpa pengaduan pun akan diproses. Sebagai contoh, Yasonna bercerita bahwa pada zaman kepemimpinan Presiden Soeharto, seseorang yang melayangkan penghinaan dan kritik bisa ditangkap kepolisian.

Yasonna melanjutkan, penereapan rencana pasal penghinaan ini, lanjut Yasonna, akan berbeda dengan sistem delik umum. Pasal penghinaan yang dimasukkan dalam RUU KUHP ini, tambah Yasonna, lebih bersifat delik aduan. Sehingga kasus penghinaan baru bisa diproses ketika ada laporan yang dilayangkan.

"Ayat itu sebenarnya sudah mengakomodasi dan diharapkan terjadi juga prinsip kesamaan di mata hukum," ujarnya.

Oleh karena itu, Yasonna berharap agar masyarakat juga tidak membentuk persepsi sendiri yang meributkan pasal penghinaan ini dengan anggapan baru dimunculkan di masa pemerintahan Jokowi-JK. Pasalnya, pasal penghinaan yang sempat dicabut oleh MK pada 2006 lalu ini sudah kembali digulirkan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Pasal penghinaan ini, lanjut Yasonna, juga diharapkan dapat melindungi seluruh individu di Indonesia, tidak hanya presiden saja. Oleh karena itu, Yasonna berharap dengan adanya pasal ini dalam RUU KUHP, terjadi keadilan dalam penegakkan hukum dan menghilangkan diskriminasi. Pasal penghinaan ini, lanjut Yasonna, juga bertujuan untuk menjaga adab karena Yasonna meniai bangsa yang berbudi dapat saling menghargai.

"Hakim Sarpin saja bisa mengadukan orang yang menghina dia, masa presiden sebagai individu tidak bisa. Sangat diskriminatif kalau presiden dikecualikan dengan pasal ini," tegasnya.

Sebelumnya, Pemerintahan Jokowi-JK menambah butir ayat dalam pasal 263 RUU KUHP. Dalam Pasal 263 ayat 1 RUU KUHP disebutkan bahwa "setiap orang yang di muka umum menghina presiden, atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV".

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement