Rabu 05 Aug 2015 15:15 WIB
Pasal Penghinaan Presiden

Tanpa Amandemen UUD 1945, Pasal Penghinaan Presiden tak Bisa Dihidupkan

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Bayu Hermawan
Palu hakim (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Palu hakim (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Bengkulu (UNIB), Prof. H. Juanda SH, M. Hum menilai pasal penghinaan presiden tidak bisa dimasukan dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) .

Sebab menurutnya UUD 1945 yang menjadi dasar bagi Mahkamah Konstitusi mencabut pasal tersebut pada 2006 lalu, hingga saat ini masih berlaku.

Sehingga berdasarkan prinsip hukum tata negara, ketika suatu norma sudah diputuskan dan dianggap menyalahi konstitusi maka tidak dapat lagi dihidupkan.

"Sepanjang yang dijadikan alat uji masih berlaku, maka putusan pencabutan terhadap pasal penghinaan presiden pun tetap berlaku," ujarnya kepada ROL, Rabu (4/8).

Ia menegaskan sifat dari putusan MK adalah mengikat dan final. Artinya, putusan tersebut selesai pada saat diputuskan dan berlaku selamanya.

Selama UUD 1945 yang menjadi dasar dari apa yang sudah diputuskan masih berlaku, maka tidak ada celah bagi Presiden Jokowi untuk menghidupkan kembali pasal tersebut.

"Katakanlah misalnya pasal 28 yang menjadi dasar MK mengeluarkan putusan tersebut sudah tidak berlaku lagi, maka pemasukan kembali pasal penghinaan presiden bisa dilakukan," ujarnya.

Seandainya UUD 1945 tidak diamandemen, Jokowi tetap bisa menghidupkan kembali pasal tersebut asalkan itu adalah sebuah norma baru.

"Artinya substansinya tidak sama dengan yang dulu dicabut," ucapnya.

Misalnya bentuk penghinaan yang dimaksud berbeda seperti dahulu. Ia menambahkan presiden harus mampu merumuskan ketentuan yang berbeda dari yang lama yang tidak dijadikan objek sengketa dalam MK.

"Tapi kalau itu sama dengan norma yang sudah dibatalkan, saya kira secara tegas itu tidak bisa lagi. Argumentasi hukumnya adalah keputusan MK adalah keyakinan yang mengikat dan berlaku terus," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement