REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mengatakan rencana pemerintah memasukkan pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dan revisi UU KUHP, merupakan bentuk kemunduran demokrasi.
"Kalau apa yang dibatalkan dan dihidupkan kembali (pasal penghinaan terhadap presiden) maka itu bentuk kemunduran demokrasi," katanya, Selasa (4/8).
Fahri mengaku heran terkait rencana pemerintah yang mengajukan draf revisi UU KUHP yang tidak dikalibrasi terhadap apa yang diputuskan Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, pemerintah tidak teliti karena MK pernah memutus perkara tersebut.
"Apabila pasal itu dicantumkan lagi sebagai proses politik bisa saja. Tapi pasal yang sama akan dibatalkan," ujarnya.
Presiden Joko Widodo mengajukan 786 Pasal dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ke DPR RI untuk disetujui menjadi UU KUHP.
Dari ratusan pasal yang diajukan itu, Presiden Jokowi menyelipkan satu Pasal mengenai Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Pasal tersebut sebenarnya sudah dihapuskan Mahkamah Konstitusi (MK) sejak 2006 karena dinilai secara konstitusional bertentangan dengan pasal 28D ayat 1 UUD 1945.
MK menilai pasal itu dapat menghambat upaya komunikasi dan perolehan informasi dan berpeluang menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan dan ekspresi sikap.
Kali ini, revisi KUHP tercantum dalam Pasal 263 ayat 1 RUU KUHP yang berbunyi: "setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV".
Pasal selanjutnya semakin memperluas ruang lingkup Pasal Penghinaan Presiden yang tertuang dalam RUU KUHP, seperti dalam Pasal 264, yang berbunyi:
"Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV".