REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan rencana memasukkan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden ke dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai tindakan yang inkonstitusional.
"Pasal itu sudah pernah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Desember 2006 yang menyidangkan perkara Nomor 013/PUU-IV/2006," kata Hendardi melalui pesan tertulis diterima di Jakarta, Selasa (4/8).
Hendardi mengatakan norma yang sudah dibatalkan MK tidak boleh diambil kembali menjadi sebuah norma dalam undang-undang baru. "Bila dipaksakan dapat dianggap sebagai penyelundupan hukum sekaligus pelanggaran terhadap konstitusi Undang-Undang Dasar 1945," tuturnya.
Menurut Hendardi, keinginan untuk menghidupkan kembali pasal tersebut merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap konstitusi. Hal itu menunjukkan ketidakpahaman pemerintah terhadap praktik ketatanegaraan Indonesia.
Pemerintah mengusulkan revisi Undang-Undang KUHP kepada DPR. Pembahasan revisi undang-undang itu sedang dibahas Komisi III bersama dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Dalam rancangan undang-undang tersebut, pemerintah mengajukan 786 pasal. Pasal 263 Ayat (1) menyebutkan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV bagi setiap orang yang menghina presiden atau wakil presiden di muka umum.
Sedangkan Pasal 264 menyebutkan setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum atau memperdengarkan rekaman penghinaan tersebut sehingga terdengar oleh umum dapat dipidana dengan hukuman yang sama.