REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kasus pelecehan seksual di arena Transjakarta dinilai bisa diminimalisasi dengan menambah armada bus dan memperpendek waktu tunggu bagi penumpang. Selama ini, PT Transjakarta mengimbau pemisahan penumpang dalam bus gandeng Transjakarta. Namun hal ini kurang efektif.
Sama seperti halnya kereta commuter, jumlah penumpang yang terlalu banyak membuat mereka berjejal tanpa menghiraukan peruntukkan gerbong. "Karena keminiman armada, perempuan terpaksa campur dengan penumpang laki-laki," ujar Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi kepada ROL, Senin (3/8).
Tak hanya itu, Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) hendaknya steril dari pihak-pihak yang kurang berkepentingan di arena tersebut seperti pedagang dan pengemis.
Terlalu banyaknya aktivitas lain di JPO membuat penumpang Transjakarta kesulitan menuju area bus. Bukan tidak mungkin keramaian semacam ini mengundang niat jahat seperti pelecehan dan pencopetan bagi penumpang perempuan.
Sepertinya agak sulit bagi PT Transjakarta menyediakan petugas keamanan di JPO. Sebab, kata Tulus, keamanan di JPO bukan menjadi ranah kewenangan PT Transjakarta. "Mereka hanya berwenang di armada dan jalur busway," ucapnya.
Sekitar empat tahun lalu, YLKI pernah membuat survei kepada 3.000 penumpang Transjakarta. Hasilnya, kebanyakan responden mengeluhkan lamanya kedatangan bus padahal masyarakat yang mengandalkan Transjakarta cukup banyak.
Para penumpang harus berjejal-jejal di dalam halte. Saat bus datang, otomatis mereka berebutan agar bisa masuk ke dalamnya sehingga pelecehan tak terhindarkan lagi.