Senin 27 Jul 2015 14:10 WIB

Yusril Ragukan Alat Bukti yang Jerat Dahlan Iskan

  Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan menjawab pertanyaan wartawan usai menjalani pemeriksaan di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Selasa (30/6).
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan menjawab pertanyaan wartawan usai menjalani pemeriksaan di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Selasa (30/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa Hukum tersangka dugaan kasus korupsi gardu listrik PLN Yusril Ihza Mahendra menilai tuduhan yang diajukan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta terhadap kliennya Dahlan Iskan (DI) tidak sesuai dengan waktu kronologis.

"Tuduhan yang diberikan kepada Pak Dahlan Iskan (DI) sudah tidak sesuai waktunya. Beliau sejak 26 Oktober 2012 sudah tidak menjabat Dirut PLN, sedangkan yang disangkakan adalah sesudah tanggal itu," ujar Yusril, Senin (27/7).

Saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ia menjelaskan bahwa pihaknya juga masih meragukan dua alat bukti permulaan yang dijadikan dasar oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta untuk menetapkan Dahlan Iskan sebagai tersangka.

Hal tersebut, ujarnya, masih berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya dianggap melakukan suatu tindak pidana berdasarkan dua alat bukti sebagaimana diakui dalam Pasal 183 dan 184 KUHP.

"Padahal dinyatakan, bukti itu didapatkan dengan (Dahlan Iskan) diperiksa sebagai saksi pada 5 Juni 2015, tapi ditetapkan sebagai tersangka saat itu juga. Jadi dari mana dua alat bukti itu?," kata Yusril.

Dia berpendapat, seharusnya dua alat bukti itu didapatkan dari hasil proses penyidikan bukan melalui proses penyelidikan karena masih bersifat umum. Sedangkan pada penyidikan bisa disahkan penetapan tersangka.

Oleh sebab itu, apabila dua alat bukti didapatkan di luar proses penyidikan maka hal tersebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tentang penetapan tersangka, ujarnya menambahkan.

Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta menetapkan mantan Dirut PLN dan mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut sebagai tersangka dugaan korupsi pembangunan gardu induk PLN Jawa, Bali, Nusa Tenggara senilai Rp1,06 triliun.

Sejauh ini jaksa telah menetapkan status tersangka terhadap 15 orang yang terlibat perkara tersebut, termasuk sembilan karyawan PT PLN yang sudah menjalani penahanan.

Seluruh tersangka dijerat dengan Pasal 2, 3 juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan ancaman kurungan maksimal 20 tahun.

Megaproyek milik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tersebut digarap sejak bulan Desember 2011 dan ditargetkan selesai pada bulan Juni 2013.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement