REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hari anak nasional yang diperingati setiap 23 Juli tidak lantas membuat anak-anak Indonesia menjadi merdeka. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat faktor di antaranya ekonomi yang membuat sedikitnya 1,7 juta anak-anak Tanah Air menjadi pekerja.
Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Binwasnaker) dan K3 Kemenaker Indonesia Muji Handaya meyakini, faktor utama anak-anak menjadi pekerja adalah ekonomi keluarga.
“Kebanyakan anak-anak ini berasal dari keluarga kelas ekonomi menengah ke bawah,” katanya kepada Republika, di kantornya, di Jakarta, Kamis (23/7).
Selain ekonomi, pemahaman sang orang tua terhadap hak-hak anak yang minim ikut membuat keturunannya terpaksa menjadi pekerja. Terutama pandangan bahwa anak perempuan yang tidak perlu mengenyam jenjang pendidikan yang tinggi karena toh nantinya berada di dapur.
“Persepsi seperti itu menjadi pengaruh plus keadaan ekonomi yang membuat anak itu harus bekerja untuk menambah pendapatan keluarga,” ujarnya.
Penyebab lain yang membuat anak harus berkecimpung dalam mata pencaharian adalah kultural. Ia mencontohkan di Pulau Bali ada persepsi bahwa anak yang diajar memahat sejak kecil nantinya lebih baik saat dewasa benar-benar menjadi pematung.
Dia menyebutkan, mayoritas atau 90 persen pekerja anak ini tinggal di perdesaan. Mereka berdomisili yang tersebar di seluruh provinsi Indonesia. Kebanyakan bocah-bocah ini bekerja di sektor informal seperti nelayan, ikut membantu orang tuanya dalam berwirausaha, hingga membuka warung.
“Padahal, anak itu memperoleh hak seperti main hingga belajar,” ujarnya.
Dia menambahkan, banyaknya anak yang terpaksa bekerja berefek negatif pada kualitas bangsa. Karena anak-anak ini adalah generasi penerus bangsa. Anak-anak pekerja yang mayoritas putus sekolah dinilainya sulit dapat meningkatkan taraf hidup dan membuat generasi penerus bangsa Indonesia lebih baik.
“Oleh karena itu, segala upaya kita tujukan supaya anak itu memperoleh haknya. Kita harus menghargai hak anak,” ujarnya.
Untuk itu, sejak tahun 2001, pihaknya merumuskan target menarik pekerja anak dan memberikan hak pendidikan maupun hak bermain. Kemudian sejak tahun 2008 lalu, Kemenaker sudah melaksanakan program penarikan pekerja anak.
“Rata-rata dalam kurun waktu 2009 hingga 2011, kami telah menarik 3 ribu pekerja anak. Bahkan, target itu dinaikkan menjadi 10 ribu pekerja anak pada tahun 2012 lalu dan terealisasi 100 persen,” ujarnya.
Target penarikan pekerja anak kembali ditingkatkan menjadi 11 ribu pekerja dan 2014 menjadi 15 ribu pekerja anak dan 2015 menjadi 16 ribu anak persiapan masuk sekolah.
Untuk efektivitas penarikan pekerja anak, pihaknya menggandeng 1.600 anggota LSM ma bekerja sama dengan pihaknya. 1.600 orang ini menjadi pendamping. Selain itu, pihaknya mengaku telah bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud), kementerian agama (kemenag) untuk menyukseskan program dan road map ini.
“Minimal angan-angan disuatu massa indonesia harus bebas pekerja anak. Yaitu tahun 2022, sesuai dengan rencana kita,” ujar Muji.