Rabu 22 Jul 2015 13:03 WIB

Ini Awal Mula SE Larangan Ibadah Dibuat GIDI

Papan nama Masjid Baitul Mutaqqin, Karubaga, Tolikara.
Foto: Twitter
Papan nama Masjid Baitul Mutaqqin, Karubaga, Tolikara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua dan Sekretaris Gereja Injili di Indonesia (GIdI) Wilayah Tolikara sempat mencabut surat edaran terkait larangan penyelenggaraan ibadah Shalat Id di Karubaga, namun tidak memberitahukan kepada jajarannya bahwa SE tersebut sudah dicabut.

"Mengenai surat edaran itu sudah dikoordinasikan kalau itu tidak benar dan harus dicabut. Polres juga sudah ke sana, surat edaran itu sudah dicabut tetapi tidak disosialisasikan," kata Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Soedarmo, Rabu (22/7).

Soedarmo ikut mendampingi Mendagri Tjahjo Kumolo saat melakukan kunjungan ke Kabupaten Tolikara pada Senin (19/7) dan Selasa (20/7).

Dari hasil kunjungan tersebut, dia mengatakan, insiden kerusuhan yang terjadi Jumat (17/7) itu bermula dari surat edaran terkait penyelenggaraan seminar dan kebaktian kebangunan rohani pemuda GIdI Wilayah Tolikara.

Dalam SE berkop GIdI Badan Pekerja Wilayah Toli tersebut disebutkan larangan bagi umat Islam untuk menggelar ibadah Shalat Id dan menggunakan jilbab selama acara seminar dan KKR berlangsung.

Soedarmo menjelaskan Pengurus GIdI Tolikara menerbitkan SE tersebut didasarkan atas adanya peraturan Bupati yang melarang ada kegiatan ibadah dan pembangunan tempat ibadah selain aliran GIdI.

"Perda itu garis besarnya soal larangan agama lain mendirikan rumah ibadah, untuk seluruh agama selain GIdI. Jadi Islam, Katolik, dan Kristen non-GIdI juga tidak boleh," lanjutnya.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pun memerintahkan pemerintah daerah Kabupaten Tolikara untuk menyelidiki adanya peraturan daerah yang melarang pembangunan tempat ibadah baru di wilayah tersebut.

"Saya meminta bupati dan DPRD untuk membuka ulang arsip lama, yang bupati dan DPRD sekarang tidak tahu apakah benar ada perda itu," kata Tjahjo.

Jika ditemukan terdapat perda yang melanggar hak asasi manusia, maka Kemendagri bisa mengklarifikasi dan membatalkan perda tersebut karena tidak sesuai dengan peraturan di atasnya.

"Sudah menjadi tugas Pemerintah memberi kebebasan bagi warga negaranya untuk beragama dan beribadah sesuai keyakinan masing-masing," ujarnya.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement