Ahad 12 Jul 2015 18:56 WIB

'Kalau Mau Kaya, Jangan Jadi Hakim'

Rep: Halimatus Sa'diyah/ Red: Angga Indrawan
Petugas KPK menunjukkan uang dolar AS dan dolar Singapura yang merupakan barang bukti hasil OTT (Operasi Tangkap Tangan) di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (10/7).
Foto: Antara/Alfian Prayudi
Petugas KPK menunjukkan uang dolar AS dan dolar Singapura yang merupakan barang bukti hasil OTT (Operasi Tangkap Tangan) di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (10/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Baru-baru ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan tiga hakim PTUN Medan sebagai tersangka kasus suap. Pengamat hukum dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai, masih banyaknya penegak hukum yang terjerat dalam kasus suap lantaran profesi hakim masih dijadikan sebagai alat untuk memperkaya diri.

"Kalau mau kaya, keluar! Jangan jadi hakim, jadi pengusaha saja," katanya ketika dihubungi Republika, Ahad (12/7).

Hakim yang terbukti menerima suap, ujar Fickar, telah membuat wibawa hukum jatuh. Dia menilai, tindakan itu tak pantas dilakukan oleh hakim yang sebenarnya telah mendapatkan remunerasi besar dari negara.

"Seorang hakim harus memiliki pandangan hidup bahwa pekerjaannya itu bukan profesi untuk menghasilkan uang," kata dia.

Lebih lanjut, Fickar mengatakan, perilaku korupsi sebenarnya telah mengakar di dunia peradilan. Menurutnya, tak ada orang beperkara yang tak mengeluarkan uang agar kasusnya dimenangkan di pengadilan. Meskipun, yang bersangkutan sebenarnya sudah memiliki bukti kuat.

Urusan duit di pengadilan, sambung Fickar, sudah dimulai dari perkara administrasi. Hal itu seolah sudah jadi rahasia umum yang dianggap biasa. "Ini yang harus dibenahi. Orang yang berperkara harus berhenti menyogok di pengadilan," ucap dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement